Sabtu, 28 Juli 2012

MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA


MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Oleh:
REKO DWI SALFUTRA, S.H.,M.H.
Sekretaris Lembaga Mediasi Provinsi Jambi

         Indonesia dalam masa sekarang ini masih dalam tahap pembangunan, di mana pembangunan yang dijalankan pada masa sekarang jauh berkembang dibandingkan masa dahulu, khususnya masa sebelum kemerdekaan.  Salah satu perkembangan pembangunan yang sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah perkembangan dalam kegiatan bisnis yang pesat dan modern.
         Perkembangan kegiatan bisnis di Propinsi Jambi juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan jumlah perusahaan dalam skala besar yang pada saat ini telah mencapai lebih dari 707 (tujuh ratus tujuh) perusahaan,[1] mulai dari perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan, pertambangan batu bara dan perkebunan. Dari kenyataan yang kompleks seiring dengan modernisasi itulah yang menyebabkan timbulnya hubungan hukum di antara manusia yang semakin modern pula. Lahirnya suatu hubungan hukum di antara manusia untuk berinteraksi satu sama lainnya menjadi sesuatu proses yang tidak dapat dihindari yang tentunya pula dengan semakin kompleks perkembangan bisnis tersebut akan membawa suatu akibat hukum, seperti halnya sengketa bisnis yang tidak jarang penyelesaiannya membawa pihak-pihak yang bersengketa ke dunia peradilan (litigasi). Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jambi, dalam sengketa ketenagakerjaan saja terdapat 1.219 (seribu dua ratus sembilas) kasus yang berhubungan dengan sengketa tenaga dengan perusahaan. Lebih dari 70% dari kasus tersebut tidak terselesaikan.[2] Begitu juga terhadap sengketa pertanahan, di mana dari jenis masalah sengketa dan konflik sebanyak 137 (seratus tiga puluh tujuh) kasus, fakta menunjukkan, bahwa lebih dari sebagian kasus tersebut yang belum dapat terselesaikan. Hal ini disebabkan dari pihak yang bersengketa yang malas berhubungan dengan proses administrasi penyelesaian sengketa secara litigasi, baik dalam permasalahan waktu, biaya maupun proses yang berbelit-belit. Padahal setiap persengketaan di dunia bisnis ini membutuhkan upaya penyelesaian yang cepat dan tepat serta berdaya guna demi tercapainya kepentingan bersama.
         Selama ini, sengketa bisnis di Propinsi Jambi umumnya diselesaikan melalui proses pengadilan (litigasi). Dalam konsteks penyelesaian seperti ini, pihak yang bersengketa umumnya dihadapkan pada sejumlah persoalan yang tidak ringan, antara lain:
a.   Biaya yang diperlukan relatif besar, sementara tidak jarang nilai yang disengketakan relatif tidak terlalu besar;
b.  Waktu yang dibutuhkan relatif lama dan proses yang panjang serta berbelit-belit, bahkan terkadang untuk suatu tuntutan yang nilainya kecil;
c.   Proses pemeriksaan yang terbuka untuk umum, mempengaruhi kredibilitas pihak yang bersengketa;
d.  Adanya posisi tawar yang tidak seimbang, sehingga selalu muncul rasa ketidakpercayaan terhadap proses peradilan. Kondisi ini diperburuk pula oleh kurang baiknya citra peradilan di tengah masyarakat;
e.   Sifat putusan yang “kalah menang” kurang kondusif bagi kelanjutan hubungan para pihak yang bersengketa.[3]
         Kelemahan-kelemahan dalam penyelesaian sengketa bisnis melalui cara litigasi tersebut telah mendorong pemikiran untuk menggunakan alternatif penyelesaian sengketa secara non litigasi, seperti mediasi.
         Istilah mediasi cukup gencar dipopulerkan oleh para akademisi dan praktisi akhir-akhir ini. Para ilmuan berusaha mengungkap secara jelas makna mediasi dalam berbagai literatur ilmiah meluli riset  dan studi akademik. Para praktisi juga cukup banyak menerapkan mediasi dalam praktik penyelesaian sengketa. Perguruan tinggi, lembaga swadaya Masyarakat (LSM), dan berbagai lembaga lain cukup banyak  menaruh perhatian pada mediasi ini. Namun, “istilah mediasi tidak mudah didefinisikan secara lengkap dan menyeluruh, karena cakupannya cukup luas. Mediasi tidak memberikan suatu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lain”.[4]
         Sehubungan dengan itu, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukna peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” bermakna, bahwa mediator harus berada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dengan kedudukan atau posisi yang sama, sehingga menimbulkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
         Mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement). Kegiatan ini dilakukan oleh mediator sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa. Posisi mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan yang dapat mengakhiri perselisihan  dan persengketaan. Mediator tidak dapat memaksa  para pihak untuk  menerima tawaran penyelesaian sengketa darinya. Para pihak yang menentukan kesepakatan-kesepakatan apa yang mereka inginkan. Mediator hanya membantu mencari alternatif  dan mendorong mereka secara bersama-sama ikut menyelesaikan sengketa.
         Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk  menyelesaikan perselisihannya. Dalam mediasi, “penyelesaian perselisihan atau sengketa lebih banyak muncul dari keinginan  dan inisiatif  para pihak, sehingga mediator berperan membantu mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan”.[5] Dalam membantu pihak yang bersengketa, mediator bersifat imparsial atau tidak memihak. Kedudukan mediator seperti ini amat penting, karena akan menumbuhkan kepercayaan yang memudahkan mediator melakukan kegiatan mediasi. Kedudukan mediator yang tidak netral, tidak hanya menyulitkan kegiatan mediasi tetapi dapat membawa kegagalan dalam penyelesaian sengketa.
         Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Masyarakat Indonesia merasakan, bahwa “penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpelihara nilai-nilai kebersamaan (komunalitas) dalam masyarakat”.[6] Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka secara sepat dan tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan individu. Mayarakat Indonesia, sebagaimana masyarakat lain di dunia, merasakan bahwa konflik  atau sengketa yang muncul dalam masyarakat tidak boleh dibiarkan terus menerus, tetapi harus diupayakan jalan penyelesaiannya. Dampak dari konflik tidak hanya memperburuk hubungan antara pihak yang bersengketa, tetapi juga dapat mengganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu, mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa dinilai sebagai sesuatu hal yang mampu untuk meminimalkan ketidakadilan dalam penyelesaian sengketa.
         Penyelesaian konflik atau sengketa  dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebabasan” yang menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Para pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau salah dalam sengketa yang mereka hadapi, tetapi mereka cenderung memikirkan  penyelesaian untuk masa depan, dengan mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka secara berimbang. Penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan para pihak (walaupun tidak 100%) dapat ditempuh melalui mekanisme musyawarah dan mupakat. Penerapan prinsip musyawarah ini umumnya dilakukan di luar pengadilan.
         Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Prinsip musyawarah mufakat merupakan nilai  dasar yang digunakan pihak yang bersengketa dalam dalam mencari solusi terutama di luar jalur pengadilan. Nilai musyawarah mufakat terkonkretkan dalam sejumlah bentuk alternatif penyelesaian sengketa.
         Penyelesaian sengketa bisnis secara mediasi bertujuan untuk memecahkan kebuntuan dan kelemahan litigasi tersebut dengan berupaya memberikan cara yang lebih memenuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa. Manfaat yang dapat diperoleh dari terwujudnya penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi dapat diuraikan sebagai berikut:
a.     Efisiensi dari segi waktu dan biaya. Penyelesaian sengketa di bidang bisnis yang berlarut-larut dapat merugikan pihak yang bersengketa dan meningkatkan risiko reputasi bagi sengketa yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar;
b.    Terwujudnya perlindungan yang lebih baik terhadap pihak-pihak yang bersengketa;
c.     Tetap terjaganya hubungan baik di antara pihak yang bersengketa;
d.    Terselesaikannya berbagai sengketa bisnis secara adil, sehingga mendorong lahirnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap dunia bisnis. Manfaat ini memberikan efek yang positif terhadap perbaikan ekonomi nasional pada umumnya;
e.     Sistem penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi akan memberikan stimulasi pihak perusahaan untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan kegiatannya, terutama terkait hubungannya dengan masyarakat sebagai konsumen;
f.     Sistem penyelesaian secara mediasi juga memberikan stimulasi specific development of the lawyer dalam bidang bisnis dan mediasi.[7]
         Berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi dinilai lebih baik dari pada penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan menggunakan litigasi. Oleh sebab itu, dengan pendirian sebuah Lembaga Mediasi di Propinsi Jambi diharapkan mampu untuk menyelesaikan dan meringankan proses penyelesaian sengketa yang cepat, biaya murah serta berdaya guna demi tercapainya kepentingan bersama.



[1]Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jambi, Data Base Pengawasan Ketenagakerjaan Propinsi Jambi, Jambi, 2009.
[2]Ibid.
[3]Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, PT. Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 213.
[4]Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 119.
[5]Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009, hlm. 6.
[6]Ibid.
[7] Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hlm. 214.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar