A.
|
A. PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai landasan konstitusional, melalui Pasal
33 ayat (3) telah mewajibkan agar penggunaan sumber daya alam dan ekosistemnya
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Atas dasar ketentuan tersebut, dimaksudkan bahwa pada
tingkat tertinggi, bumi, air dan kekayaan alam serta seluruh kandungannya
dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.[1] Penegasan terhadap
konsepsi hak menguasai dari negara ini telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).
UUPA memberi wewenang kepada negara untuk :
a. Mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa;
c. Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Konsepsi hak menguasai dari negara dalam
menyelenggarakan pengaturan tersebut menurut Boedi Harsono yang mengutip dari
Penjelasan Umum I UUPA dinyatakan ada 3 tujuan pokok UUPA, yaitu:
1. Meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat
untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat,
terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. Meletakkan
dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3. Meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya.
Berdasarkan tujuan di atas, bahwa negara berwenang
tidak cukup hanya menyelenggarakan, mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan tanah saja, akan tetapi sampai pada perlindungan hukum hak
atas tanah dengan memberikan jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanah.
Konstitusi Negara Republik Indonesia melalui Pasal 33
ayat (3) memberikan perlindungan tertinggi kepada setiap rakyat Indonesia dalam
menikmati kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, termasuk untuk
menikmati kekayaan alam berupa hutan, termasuk kawasan Taman Nasional Kerinci
Seblat (TNKS).
TNKS merupakan kawasan pelestarian alam yang kaya
dengan keanekaragaman hayati dan fenomena alam yang khas. Beberapa lokasi di TNKS
mempunyai ciri keindahan dan atraksi wisata alam yang dapat dikembangkan lebih
kanjut sebagai tujuan wisata alam.
TNKS memiliki variasi elevasi mulai di bawah 300 meter
dari permukaan air laut sampai 3.800 meter dari permukaan air laut dan meliputi
berbagai tipe ekosistem seperti hutan dataran rendah, hutan bukit, hutan rawa,
danau, rawa dataran tinggi dan hutan gunung. Sebagai akibatnya, TNKS sangat
kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki banyak jenis-jenis mamalia besar
dan kharismatik. Pentingnya TNKS telah diakui dunia internasional dengan
ditetapkannya TNKS sebagai Situs Warisan ASEAN, bahkan telah pula ditetapkan
sebagai Situs Warisan Alam Dunia (world heritage site).
TNKS dengan luas kawasan hampir 1,4 juta hektar,
merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Memanjang 350 km dari
Barat Laut ke Tenggara dengan lebar rata-rata 50 km, TNKS terletak di empat
Provinsi, yaitu “Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan serta Bengkulu dan
sembilan Kabupaten serta satu Pemkot”.[2]
TNKS dinyatakan secara resmi sebagai taman nasional
dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1049/Kpts-II/1992 pada tanggal
12 November 1992. Kemudian, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
192/Kpts-II/1996 menetapkan luas TNKS lebih kurang 1.368.000 hektar. Setelah
diadakan penataan batas, TNKS secara resmi ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
dan Perkebunan dengan Surat Keputusan Nomor 901/Kpts-II/1999 pada bulan Oktober
1999 dengan luas 1.375.349,867 hektar. Karena itu, “Taman Nasional Kerinci
Seblat merupakan taman nasional pertama di Indonesia yang telah menyelesaikan
semua prosedur hukum sehingga mendapat penetapan resmi”.[3]
Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya pemanfaatan sumber daya hutan, seiring
dengan perkembangan zaman yang membutuhkan sumber daya alam, maka dampak yang timbul tidak
selamanya baik dan bermanfaat bagi manusia, malahan dapat membahayakan
kehidupan manusia, seperti halnya mengurangi kawasan hutan yang akan berakibat
terjadinya longsor maupun banjir. Berkurangnya kawasan hutan seiring denga
semakin banyaknya hutan yang gundul, maka pemerintah dengan program kebijakan
selain menghijaukan kembali hutan yang gundul juga melindungi dan merawat
sisa-sisa hutan yang masih ada.
Sebagai
kawasan pelestarian alam, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menentukan tiga fungsi
pokok dari TNKS,
yaitu:
1. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga
kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia;
2. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman genetik dan tipe-tipe ekosistemnya
sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam
hayati bagi kesejahteraan;
3. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga
terjamin kelestariannya.
Pada
kenyataannya, upaya pemanfaatan TNKS yang berasaskan manfaat, lestari, kerakyatan, keadilan,
kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan sekarang hanya tinggal mimpi. Sejarah
telah membuktikan secara nyata akumulasi hasil dari pengelolaan hutan alam di
Indonesia hanya menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia itu sendiri.
Pengelolaan hutan selama ini telah cukup memberikan suatu referensi sebagai
bahan pembelajaran, bahwa kurangnya kemandirian dan partisipasi serta kerjasama selarna ini
telah menyebabkan kerusakan sumber daya alam dan ekosistemnya, ”terjadinya
konflik horizontal maupun vertikal, lahirnya program manipulasi keuangan
negara oleh pengusaha bertopeng yang mendapat konsesi pengelolaan kawasan hutan
dan berbagai macam bentuk penjarahan hak-hak masyarakat, sehingga akan
menimbulkan kemiskinan yang membelenggu rakyat”.[4]
Meskipun telah ada
suatu instrumen hukum yang mengaturnya, namun masih saja terjadi perusakan
maupun pencurian di dalam kawasan hutan. Telah menjadi suatu rahasia umum, para
aparat maupun pejabat pemerintah menjalin kerjasama dengan pengusaha-pengusaha
yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan perusakan atas hutan.
TNKS
sebagai paru-paru dunia tidak lagi dimaknakan sebagai penyangga kehidupan.
Degradasi kawasan TNKS terus berlanjut. Berbagai upaya penanganan seperti operasi rutin
pengamanan belum juga memperlihatkan hasil yang signifikan dalam perlindungan TNKS, malahan perusakan terhadap TNKS semakin menggurita.
Mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka
pengelolaan konservasi
sumber daya alam dan ekosistemnya perlu kiranya diberi suatu instrumen hukum
yang lebih jelas, tegas dan bersifat universal dalam arti kata berlaku
tanpa melihat status sosial, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan
negara, sehingga akan tercapai suatu kepastian hukum bagi pengelolaan tersebut
dan dapat diharapkan menjamin pemanfaatan bagi kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat serta peningkatan mutu kehidupan manusia Indonesia.
Dari
uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam penelitian ini,
yaitu:
1. Bagaimanakah
perlindungan TNKS dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan?
2. Kendala-kendala
apa saja yang dihadapi dalam perlindungan TNKS?
B.
PEMBAHASAN
1. Perlindungan TNKS dalam Kaitannya
dengan Pembangunan Berkelanjutan
Sejak gerakan
reformasi pada tahun 1998 bergulir, berbagai macam kasus hukum, mulai dari kasus Hak Asasi Manusia (HAM), Pidana,
Perdata sampai pada masalah Politik terus muncul silih berganti yang
seakan-akan tidak pernah bisa untuk berhenti. Sebagian kasus
sudah ada ketetapan hukumnya, akan tetapi yang lainnya, banyak yang masih belum
jelas. Tidak mengherankan jika hukum seolah-olah menjadi barang mahal. Era
reformasi sebagai masa bangkitnya Indonesia dari segala keterpurukan dan
penegakan hukum hanya angan-angan belaka.
Begitu juga dalam perlindungan dan konservasi
lingkungan. Semakin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan akan makin
meningkat dampaknya terhadap lingkungan hidup. Keadaan ini mendorong makin
diperlukannya upaya pengendalian dampak lingkungan hidup, sehingga resiko
terhadap lingkungan hidup dapat ditekan sekecil mungkin.
Lingkungan hidup adalah “semua benda, daya dan
kehidupan termasuk di dalamnya manusia dan tingkah lakunya yang mempengaruhi
kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.[5] Sedangkan hukum lingkungan
merupakan menyangkut penetapan nilai-nilai (waardenbeoordelen), yaitu
“nilai-nilai yang diharapkan berlaku di masa mendatang serta dapat disebut
hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup atau dengan kata lain hukum
lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia
dengan mahkluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenakan sanksi”.[6]
TNKS sebagai bagian dari lingkungan yang dinilai
sebagai modal pembangunan daerah maupun nasional memiliki manfaat yang nyata
begi kehidupan dan penghidupan bangsa dan negara Indonesia, baik manfaat
ekologis, sosial budaya maupun ekonomi secara seimbang dan dinamis. Untuk itu, TNKS
harus dikelola, dilindungi serta dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dari generasi ke generasi.
Upaya pengendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat
dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup itu sendiri. Suatu perangkat
hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha atu kegiatan lain.
Oleh karena itu, izin harus dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban yang
harus ditaati dan dilaksanakan oleh penanggungjawab setiap kegiatan yang
terjadi di kawasan TNKS tersebut. Dengan demikian, adanya keikutsertaan
berbagai instansi dalam pengelolaan TNKS memang harus dipertegas batas wewenang
tiap-tiap instansi yang ikut serta dalam pengelolaan kawasan TNKS.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor 08 Tahun 2002 Tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi
dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, merumuskan prinsip dasar
pelaksanaannya, yaitu bahwa pengelolaan serta pemanfaatan lingkungan hidup yang
berupa seumber daya alam dan ekosistemnya harus adanya kesetaraan posisi para
pihak yang terlibat maupun terkait yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan TNKS;
adanya transparasi dalam pengambilan keputusan; penyelesaian masalah yang
bersifat adil dan bijaksana; serta adanya koordinasi, komunikasi dan kerja sama
di antara pihak terkait.
Seiring dengan itu, dalam penyelenggaraan kehutanan di
Indonesia harus mengacu kepada asas-asas penyelenggaraan kehutanan, sebagai
berikut:
1.
Asas
manfaat dan lestari; dengan asas ini dimaksudkan agar setiap pelaksanaan
penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur
lingkungan, sosial budaya dan ekonomi.
2.
Asas
kerakyatan dan keadilan; dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan
harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara
sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh
rakyat. Oleh sebab itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan harus dicegah
terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoly dan oligopsoni.
3.
Asas
kebersamaan; dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola
usaha bersama sehingga terjalin keterkaitan dan saling ketergantungan secara
sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD maupun BUMS
Indonesia.
4.
Asas
keterbukaan; dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan
mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.
5.
Asas
keterpaduan; dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara
terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sector lain dan masyarakat
setempat.
6.
Asas
hutan berkelanjutan (suitainable forest), yaitu suatu asas dimana setiap
negara dapat mengelola secara berkelanjutan dan meningkatkan kerja sama internasional
dalam pelestarian hutan dan pembangunan berkelanjutan.[7]
Jadi, pelestarian dan perlindungan kawasan TNKS yang
merupakan warisan bersama umat manusia, tidak hanya masyarakat Indonesia, akan
tetapi juga bagi masyarakat internasional, di dalam pengelolaan TNKS hendaknya
mendayagunakan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan (suistanable
development), konsep pembangunan hak-hak masyarakat (the right to
development) pada umumnya dan konsep pembangunan manusia seutuhnya (human
development) pada khususnya untuk mendorong kemajuan di dalam pengelolaan TNKS
menuju lebih baik.
Demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita
negara hukum dan demokrasi yang selaras dengan cita-cita dan tujuan reformasi,
maka pemerintah hendaknya dapat bertindak secara ideal, yaitu harus sesuai
dengan apa yang telah hukum tetapkan, sehingga tegaknya hukum dan kepastian
hukum dalam menuju kepada keadilan hukum akan dapat dirasakan oleh rakyat.
Menjamin adanya suatu kepastian hukum merupakan upaya
melindungi berdasarkan ketentuan umum yang wujudnya ketenteraman, ketertiban,
kedamaian dan kesejahteraan yang merupakan fungsi Negara sebagai organisasi
pemegang kedaulatan rakyat. Dengan kekuasaan yang diberikan kepada negara,
dalam hal ini yang dilindungi adalah subjek hukum yang membawa hak dan
kewajiban.
TNKS dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan
manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai.
Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya keterttiban di
dalam masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi dan terjamin.
Dalam mencapai tujuannnya itu, “hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara
perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan
masalah hukum serta memelihara kepastian hukum”.[8]
2. Kendala yang Dihadapi
Berbagai bentuk konflik terjadi dalam kawasan TNKS,
mulai dari penebangan, perambahan hingga permasalahan batas dari kawasan TNKS
itu sendiri, ditambah lagi adanya konflik antara penguasaan negara dengan
pengakuan hak milik perorangan dan persekutuan hukum adat atas tanah yang
berada di dalam kawasan TNKS itu sendiri; yang menjadi masalah sekarang,
seringkali terjebak pada dua realitas yang menegangkan. Masalah kebijakan dan
kepastian hukum pengelolaan TNKS adalah suatu realita yang dipenuhi intrik.
Sementara realita TNKS menyangkut masyarakat di
sekitar kawasan tersebut yang hanya bisa termangu menyaksikan kawasan yang
menjadi milik mereka dulunya yang semakin menipis tanpa sempat mengolahnya.
Realitas TNKS adalah suatu ruang dimana masyarakat
butuh kesempatan untuk mengolah. Di sisi lain, realitas TNKS kerap menjadi
suatu kebijakan yang menghancurkan cita-cita masyarakat miskin sekitar kawasan TNKS.
Sesungguhnya antara realitas tersebut ada dikotomi yang menegangkan sekaligus
perlu dijodohkan demi kepentingan masyarakat dan negara.
Namun demikian, sekiranya perlu disadari bahwa bukan
menjadi opini lagi, jika akibat penebangan pohon di kawasan hutan di seluruh
wilayah Indonesia adalah penyebab terjadinya bencana banjir dan tanah longsr
yang sudah menelan ribuan jiwa. Belum terhitung kerusakan pemukiman penduduk
berupa hancurnya ribuan rumah, sarana maupun prasarana lainnya. Semuanya telah
menyesengsarakan rakyat Indonesia itu sendiri. Penebangan pohon secara liar
atau sering disebut pembalakkan liar atau illegal
logging, juga penebangan pohon yang mengantongi izin resmi hak pengusahaan
hutan sama saja. Penebangan pohon, baik liar maupun resmi merupakan kegiatan
yang berpotensi merusak hutan. Keduanya adalah penyebab bencana, karena yang
memiliki izin tersebut pun tidak pernah memikirkan penanaman kembali atau
reboisasi. Semuanya dibiarkan gundul, tidak ada yang peduli atas kerusakan
hutan. Padahal ancaman hukuman berat dan denda tinggi sudah diterapkan bagi
pembalakan liar, namun sepertinya para perusak hutan dan pencuri kayu tidak
pernah jera, bahkan izin pemanfaatan untuk 100 hektar digunakan ribuan hektar. Kerusakan TNKS tersebut diperparah lagi oleh
kebutuhan lahan untuk pertanian dikalangan penduduk cukup tinggi. Selain
menggunakan lahan di sekitar kawasan taman, penduduk juga melakukan aktivitas
pertanian di dalam taman. Dari 371 desa di sekitar kawasan taman, 270 desa di
empat provinsi memiliki pemukiman dekat batas taman. Penduduk dari desa-desa
ini, “sering menggarap lahan di dalam taman dan mengambil hasil taman itu sendiri.
Jumlah lahan yang telah dibuka di kawasan TNKS mencapai 105.000 hektar”.[9]
Semua masalah yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan TNKS
dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Ancaman
terhadap keutuhan taman; merupakan suatu bentuk ancaman yang mengancam secara
langsung terhadap keanekaragaman TNKS itu sendiri, seperti adanya kegiatan
prambahan, penebangan liar, perburuan liar, pertambangan dan pembangunan jalan.
2. Kendala
institusi; seperti sedikitnya tenaga pengelola TNKS dan kurang efektifnya program
komunikasi, informasi dan promosi dari TNKS.
3. Kurangnya
keterpaduan pihak terkait sebagai akibat dari tidak adanya batas kewenangan
yang jelas, sehingga dengan sendirinya akan menghambat proses penegakan hukum
terhadap perusakan TNKS itu sendiri.
C.
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Upaya
perlindungan TNKS merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan;
mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas TNKS;
dan mengefektifkan pemberlakuan peraturan perundang-undangan sehingga
pengelolaan TNKS untuk kedepannya dilakukan dengan adil, arif dan bijaksana.
b. Adapun
kendala-kendala yang dihadapi dalam perlindungan TNKS dapat berupa ancaman
terhadap keutuhan taman, kendala institusi dan keterpaduan di antara pihak yang
terkait.
2. Saran
a. Pelestarian
dan perlindungan TNKS harus mendayagunakan konsep-konsep pembangunan
berkelanjutan (suistanable development), konsep pembangunan hak-hak
masyarakat (the right to development) pada umumnya dan konsep
pembangunan manusia seutuhnya (human development) pada khususnya.
b. Dilakukannya
pembatasan kewenangan pihak yang terkait dengan TNKS sehingga akan tercapainya
koordinasi yang baik di antara pihak yang terkait serta pemberlakuan operasi
langsung ke kawasan TNKS, baik razia maupun patroli rutin dari aparat penegak
hukum. Dengan demikian, penekanan dilakukan pada tataran penegakan hukum. Semua
aktifitas yang merusak dan menganggu ekosistem TNKS harus ditindak sebagaimana
peraturan yang berlaku.
D.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Kehutanan Republik Indonesia Dirjend Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, Kerinci Integreted Conservation and Development Project
(KS-ICDP) bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNKS). 2002.
Taman Nasional Kerinci Seblat:Kerangka Kerja Pengelolaan 2002-2006.
BTNKS. Sungai Penuh.
Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Cetakan Kelima. Edisi
Pertama. Kencana, Jakarta.
Republik Indonesia. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043).
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888).
Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sahuri Lasmadi. 2009. Bahan Ajar Hukum Lingkungan Lanjutan.
Program Megister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi. Jambi.
Salim H.S. 2002. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi.
Sinar Grafika. Jakarta.
Soejono Soekanto. 1998. Teori Sosiologi, Tentang Pribadi dalam
Masyarakat Ghalia Indonesia. Jakarta.
Sudikno Mertokusumo. 2007. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar.
Liberty, Yogyakarta.
Yuzirwan Rasyid. 2002. Hak Property Masyarakat Adat Minang Kabau
atas Sumber Daya Hutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya pengelolaan
sumber daya hutan oleh masyarakat adat tanggal 7 Mei 2002, yang diselenggarakan
dalam Konsersium Studi Pengembangan Pengelolaan Hutan Adat di sekitar Taman
Nasional Kerinci Seblat.
[1]Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi dasar munculnya
Hak Menguasai Negara.
[2]Departemen Kehutanan Republik Indonesia Dirjend Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam, Kerinci Integreted Conservation and Development Project
(KS-ICDP) bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNKS), Taman
Nasional Kerinci Seblat:Kerangka Kerja Pengelolaan 2002-2006, BTNKS, Sungai
Penuh, 2002, hal. 1.
[4]Yuzirwan Rasyid. Hak Property Masyarakat
Adat Minang Kabau atas Sumber Daya Hutan. Makalah disampaikan pada
Lokakarya pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat adat tanggal 7 Mei
2002, yang diselenggarakan dalam Konsersium Studi Pengembangan Pengelolaan
Hutan Adat di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi.
[5]Sahuri Lasmadi, Bahan Ajar Hukum Lingkungan Lanjutan, Program
Megister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi, 2010, hal. 1.
[7]Salim H.S., Dasar-Dasar Hukum
Kehutanan, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 8-11.
[8]Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, 2007, hal. 77.
[9]Departemen Kehutanan, Op. Cit., hal. 10.