Selasa, 13 Juni 2017

Perlindungan Taman Nasional Kerinci Seblat dalam Kaitannya dengan Pembangunan Berkelanjutan

A.   

PERLINDUNGAN TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Oleh:

Reko Dwi Salfutra, S.H., M.H.*


Abstract

Kerinci Seblat National Park (TNKS) is a conservation area which the rich in biodiversity that has been recognized internationally as a World Heritage Site. Based the Act Number 41 of 1999 years, that the supervision of TNKS  implemented by the government while respecting the indegineous people. However, TNKS protection is often overlooked. There are many problems in to the protection the TNKS, such as illegal logging, burning and destruction of the ecosystem in the TNKS area. Cause of that, goverment mush be to make the rule  about the protection of TNKS with the suistanable development concept.

Keywords: Protection, TNKS, government, and suistanable development.
 
A. PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai landasan konstitusional, melalui Pasal 33 ayat (3) telah mewajibkan agar penggunaan sumber daya alam dan ekosistemnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Atas dasar ketentuan tersebut, dimaksudkan bahwa pada tingkat tertinggi, bumi, air dan kekayaan alam serta seluruh kandungannya dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.[1] Penegasan terhadap konsepsi hak menguasai dari negara ini telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).


UUPA memberi wewenang kepada negara untuk :

a.    Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.   Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Konsepsi hak menguasai dari negara dalam menyelenggarakan pengaturan tersebut menurut Boedi Harsono yang mengutip dari Penjelasan Umum I UUPA dinyatakan ada 3 tujuan pokok UUPA, yaitu:

1.   Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2.   Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3.   Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Berdasarkan tujuan di atas, bahwa negara berwenang tidak cukup hanya menyelenggarakan, mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah saja, akan tetapi sampai pada perlindungan hukum hak atas tanah dengan memberikan jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanah.
Konstitusi Negara Republik Indonesia melalui Pasal 33 ayat (3) memberikan perlindungan tertinggi kepada setiap rakyat Indonesia dalam menikmati kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, termasuk untuk menikmati kekayaan alam berupa hutan, termasuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
TNKS merupakan kawasan pelestarian alam yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan fenomena alam yang khas. Beberapa lokasi di TNKS mempunyai ciri keindahan dan atraksi wisata alam yang dapat dikembangkan lebih kanjut sebagai tujuan wisata alam.
TNKS memiliki variasi elevasi mulai di bawah 300 meter dari permukaan air laut sampai 3.800 meter dari permukaan air laut dan meliputi berbagai tipe ekosistem seperti hutan dataran rendah, hutan bukit, hutan rawa, danau, rawa dataran tinggi dan hutan gunung. Sebagai akibatnya, TNKS sangat kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki banyak jenis-jenis mamalia besar dan kharismatik. Pentingnya TNKS telah diakui dunia internasional dengan ditetapkannya TNKS sebagai Situs Warisan ASEAN, bahkan telah pula ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia (world heritage site).
TNKS dengan luas kawasan hampir 1,4 juta hektar, merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Memanjang 350 km dari Barat Laut ke Tenggara dengan lebar rata-rata 50 km, TNKS terletak di empat Provinsi, yaitu “Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan serta Bengkulu dan sembilan Kabupaten serta satu Pemkot”.[2]
TNKS dinyatakan secara resmi sebagai taman nasional dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1049/Kpts-II/1992 pada tanggal 12 November 1992. Kemudian, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 192/Kpts-II/1996 menetapkan luas TNKS lebih kurang 1.368.000 hektar. Setelah diadakan penataan batas, TNKS secara resmi ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan dengan Surat Keputusan Nomor 901/Kpts-II/1999 pada bulan Oktober 1999 dengan luas 1.375.349,867 hektar. Karena itu, “Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan taman nasional pertama di Indonesia yang telah menyelesaikan semua prosedur hukum sehingga mendapat penetapan resmi”.[3]
Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya pemanfaatan sumber daya hutan, seiring dengan perkembangan zaman yang membutuhkan sumber daya alam, maka dampak yang timbul tidak selamanya baik dan bermanfaat bagi manusia, malahan dapat membahayakan kehidupan manusia, seperti halnya mengurangi kawasan hutan yang akan berakibat terjadinya longsor maupun banjir. Berkurangnya kawasan hutan seiring denga semakin banyaknya hutan yang gundul, maka pemerintah dengan program kebijakan selain menghijaukan kembali hutan yang gundul juga melindungi dan merawat sisa-sisa hutan yang masih ada.
Sebagai kawasan pelestarian alam, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menentukan tiga fungsi pokok dari TNKS, yaitu:

1.      Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia;
2.      Menjamin terpeliharanya keanekaragaman genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan;
3.      Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya.

Pada kenyataannya, upaya pemanfaatan TNKS yang berasaskan manfaat, lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan sekarang hanya tinggal mimpi. Sejarah telah membuktikan secara nyata akumulasi hasil dari pengelolaan hutan alam di Indonesia hanya menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia itu sendiri. Pengelolaan hutan selama ini telah cukup memberikan suatu referensi sebagai bahan pembelajaran, bahwa kurangnya kemandirian dan partisipasi serta kerjasama selarna ini telah menyebabkan kerusakan sumber daya alam dan ekosistemnya, ”terjadinya konflik horizontal maupun vertikal, lahirnya program manipulasi keuangan negara oleh pengusaha bertopeng yang mendapat konsesi pengelolaan kawasan hutan dan berbagai macam bentuk penjarahan hak-hak masyarakat, sehingga akan menimbulkan kemiskinan yang membelenggu rakyat”.[4]
Meskipun telah ada suatu instrumen hukum yang mengaturnya, namun masih saja terjadi perusakan maupun pencurian di dalam kawasan hutan. Telah menjadi suatu rahasia umum, para aparat maupun pejabat pemerintah menjalin kerjasama dengan pengusaha-pengusaha yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan perusakan atas hutan.
TNKS sebagai paru-paru dunia tidak lagi dimaknakan sebagai penyangga kehidupan. Degradasi kawasan TNKS terus berlanjut. Berbagai upaya penanganan seperti operasi rutin pengamanan belum juga memperlihatkan hasil yang signifikan dalam perlindungan TNKS, malahan perusakan terhadap TNKS semakin menggurita.
Mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka pengelolaan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya perlu kiranya diberi suatu instrumen hukum yang lebih jelas, tegas dan bersifat universal dalam arti kata berlaku tanpa melihat status sosial, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan negara, sehingga akan tercapai suatu kepastian hukum bagi pengelolaan tersebut dan dapat diharapkan menjamin pemanfaatan bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta peningkatan mutu kehidupan manusia Indonesia.
Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1.      Bagaimanakah perlindungan TNKS dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan?
2.      Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam perlindungan TNKS?

B.     PEMBAHASAN
1.      Perlindungan TNKS dalam Kaitannya dengan Pembangunan Berkelanjutan
Sejak gerakan reformasi pada tahun 1998 bergulir, berbagai macam kasus hukum, mulai dari kasus Hak Asasi Manusia (HAM), Pidana, Perdata sampai pada masalah Politik terus muncul silih berganti yang seakan-akan tidak pernah bisa untuk berhenti. Sebagian kasus sudah ada ketetapan hukumnya, akan tetapi yang lainnya, banyak yang masih belum jelas. Tidak mengherankan jika hukum seolah-olah menjadi barang mahal. Era reformasi sebagai masa bangkitnya Indonesia dari segala keterpurukan dan penegakan hukum hanya angan-angan belaka.
Begitu juga dalam perlindungan dan konservasi lingkungan. Semakin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan akan makin meningkat dampaknya terhadap lingkungan hidup. Keadaan ini mendorong makin diperlukannya upaya pengendalian dampak lingkungan hidup, sehingga resiko terhadap lingkungan hidup dapat ditekan sekecil mungkin.
Lingkungan hidup adalah “semua benda, daya dan kehidupan termasuk di dalamnya manusia dan tingkah lakunya yang mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.[5] Sedangkan hukum lingkungan merupakan menyangkut penetapan nilai-nilai (waardenbeoordelen), yaitu “nilai-nilai yang diharapkan berlaku di masa mendatang serta dapat disebut hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup atau dengan kata lain hukum lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahkluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenakan sanksi”.[6]
TNKS sebagai bagian dari lingkungan yang dinilai sebagai modal pembangunan daerah maupun nasional memiliki manfaat yang nyata begi kehidupan dan penghidupan bangsa dan negara Indonesia, baik manfaat ekologis, sosial budaya maupun ekonomi secara seimbang dan dinamis. Untuk itu, TNKS harus dikelola, dilindungi serta dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dari generasi ke generasi.
Upaya pengendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup itu sendiri. Suatu perangkat hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha atu kegiatan lain. Oleh karena itu, izin harus dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh penanggungjawab setiap kegiatan yang terjadi di kawasan TNKS tersebut. Dengan demikian, adanya keikutsertaan berbagai instansi dalam pengelolaan TNKS memang harus dipertegas batas wewenang tiap-tiap instansi yang ikut serta dalam pengelolaan kawasan TNKS.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 08 Tahun 2002 Tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, merumuskan prinsip dasar pelaksanaannya, yaitu bahwa pengelolaan serta pemanfaatan lingkungan hidup yang berupa seumber daya alam dan ekosistemnya harus adanya kesetaraan posisi para pihak yang terlibat maupun terkait yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan TNKS; adanya transparasi dalam pengambilan keputusan; penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana; serta adanya koordinasi, komunikasi dan kerja sama di antara pihak terkait.
Seiring dengan itu, dalam penyelenggaraan kehutanan di Indonesia harus mengacu kepada asas-asas penyelenggaraan kehutanan, sebagai berikut:

1.   Asas manfaat dan lestari; dengan asas ini dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial budaya dan ekonomi.
2.   Asas kerakyatan dan keadilan; dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh sebab itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoly dan oligopsoni.
3.   Asas kebersamaan; dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD maupun BUMS Indonesia.
4.   Asas keterbukaan; dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.
5.   Asas keterpaduan; dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sector lain dan masyarakat setempat.
6.   Asas hutan berkelanjutan (suitainable forest), yaitu suatu asas dimana setiap negara dapat mengelola secara berkelanjutan dan meningkatkan kerja sama internasional dalam pelestarian hutan dan pembangunan berkelanjutan.[7]

Jadi, pelestarian dan perlindungan kawasan TNKS yang merupakan warisan bersama umat manusia, tidak hanya masyarakat Indonesia, akan tetapi juga bagi masyarakat internasional, di dalam pengelolaan TNKS hendaknya mendayagunakan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan (suistanable development), konsep pembangunan hak-hak masyarakat (the right to development) pada umumnya dan konsep pembangunan manusia seutuhnya (human development) pada khususnya untuk mendorong kemajuan di dalam pengelolaan TNKS menuju lebih baik.
Demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara hukum dan demokrasi yang selaras dengan cita-cita dan tujuan reformasi, maka pemerintah hendaknya dapat bertindak secara ideal, yaitu harus sesuai dengan apa yang telah hukum tetapkan, sehingga tegaknya hukum dan kepastian hukum dalam menuju kepada keadilan hukum akan dapat dirasakan oleh rakyat.
Menjamin adanya suatu kepastian hukum merupakan upaya melindungi berdasarkan ketentuan umum yang wujudnya ketenteraman, ketertiban, kedamaian dan kesejahteraan yang merupakan fungsi Negara sebagai organisasi pemegang kedaulatan rakyat. Dengan kekuasaan yang diberikan kepada negara, dalam hal ini yang dilindungi adalah subjek hukum yang membawa hak dan kewajiban.
TNKS dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya keterttiban di dalam masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi dan terjamin. Dalam mencapai tujuannnya itu, “hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum”.[8]

2.      Kendala yang Dihadapi
Berbagai bentuk konflik terjadi dalam kawasan TNKS, mulai dari penebangan, perambahan hingga permasalahan batas dari kawasan TNKS itu sendiri, ditambah lagi adanya konflik antara penguasaan negara dengan pengakuan hak milik perorangan dan persekutuan hukum adat atas tanah yang berada di dalam kawasan TNKS itu sendiri; yang menjadi masalah sekarang, seringkali terjebak pada dua realitas yang menegangkan. Masalah kebijakan dan kepastian hukum pengelolaan TNKS adalah suatu realita yang dipenuhi intrik.
Sementara realita TNKS menyangkut masyarakat di sekitar kawasan tersebut yang hanya bisa termangu menyaksikan kawasan yang menjadi milik mereka dulunya yang semakin menipis tanpa sempat mengolahnya.
Realitas TNKS adalah suatu ruang dimana masyarakat butuh kesempatan untuk mengolah. Di sisi lain, realitas TNKS kerap menjadi suatu kebijakan yang menghancurkan cita-cita masyarakat miskin sekitar kawasan TNKS. Sesungguhnya antara realitas tersebut ada dikotomi yang menegangkan sekaligus perlu dijodohkan demi kepentingan masyarakat dan negara.
Namun demikian, sekiranya perlu disadari bahwa bukan menjadi opini lagi, jika akibat penebangan pohon di kawasan hutan di seluruh wilayah Indonesia adalah penyebab terjadinya bencana banjir dan tanah longsr yang sudah menelan ribuan jiwa. Belum terhitung kerusakan pemukiman penduduk berupa hancurnya ribuan rumah, sarana maupun prasarana lainnya. Semuanya telah menyesengsarakan rakyat Indonesia itu sendiri. Penebangan pohon secara liar atau sering disebut pembalakkan liar atau illegal logging, juga penebangan pohon yang mengantongi izin resmi hak pengusahaan hutan sama saja. Penebangan pohon, baik liar maupun resmi merupakan kegiatan yang berpotensi merusak hutan. Keduanya adalah penyebab bencana, karena yang memiliki izin tersebut pun tidak pernah memikirkan penanaman kembali atau reboisasi. Semuanya dibiarkan gundul, tidak ada yang peduli atas kerusakan hutan. Padahal ancaman hukuman berat dan denda tinggi sudah diterapkan bagi pembalakan liar, namun sepertinya para perusak hutan dan pencuri kayu tidak pernah jera, bahkan izin pemanfaatan untuk 100 hektar digunakan ribuan hektar. Kerusakan TNKS tersebut diperparah lagi oleh kebutuhan lahan untuk pertanian dikalangan penduduk cukup tinggi. Selain menggunakan lahan di sekitar kawasan taman, penduduk juga melakukan aktivitas pertanian di dalam taman. Dari 371 desa di sekitar kawasan taman, 270 desa di empat provinsi memiliki pemukiman dekat batas taman. Penduduk dari desa-desa ini, “sering menggarap lahan di dalam taman dan mengambil hasil taman itu sendiri. Jumlah lahan yang telah dibuka di kawasan TNKS mencapai 105.000 hektar”.[9]
Semua masalah yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan TNKS dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1.      Ancaman terhadap keutuhan taman; merupakan suatu bentuk ancaman yang mengancam secara langsung terhadap keanekaragaman TNKS itu sendiri, seperti adanya kegiatan prambahan, penebangan liar, perburuan liar, pertambangan dan pembangunan jalan.
2.      Kendala institusi; seperti sedikitnya tenaga pengelola TNKS dan kurang efektifnya program komunikasi, informasi dan promosi dari TNKS.
3.      Kurangnya keterpaduan pihak terkait sebagai akibat dari tidak adanya batas kewenangan yang jelas, sehingga dengan sendirinya akan menghambat proses penegakan hukum terhadap perusakan TNKS itu sendiri.

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Upaya perlindungan TNKS merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan; mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas TNKS; dan mengefektifkan pemberlakuan peraturan perundang-undangan sehingga pengelolaan TNKS untuk kedepannya dilakukan dengan adil, arif dan bijaksana.
b.      Adapun kendala-kendala yang dihadapi dalam perlindungan TNKS dapat berupa ancaman terhadap keutuhan taman, kendala institusi dan keterpaduan di antara pihak yang terkait.

2.      Saran
a.       Pelestarian dan perlindungan TNKS harus mendayagunakan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan (suistanable development), konsep pembangunan hak-hak masyarakat (the right to development) pada umumnya dan konsep pembangunan manusia seutuhnya (human development) pada khususnya.
b.      Dilakukannya pembatasan kewenangan pihak yang terkait dengan TNKS sehingga akan tercapainya koordinasi yang baik di antara pihak yang terkait serta pemberlakuan operasi langsung ke kawasan TNKS, baik razia maupun patroli rutin dari aparat penegak hukum. Dengan demikian, penekanan dilakukan pada tataran penegakan hukum. Semua aktifitas yang merusak dan menganggu ekosistem TNKS harus ditindak sebagaimana peraturan yang berlaku.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan Republik Indonesia Dirjend Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kerinci Integreted Conservation and Development Project (KS-ICDP) bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNKS). 2002. Taman Nasional Kerinci Seblat:Kerangka Kerja Pengelolaan 2002-2006. BTNKS. Sungai Penuh.

Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Cetakan Kelima. Edisi Pertama. Kencana, Jakarta.

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888).

Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Sahuri Lasmadi. 2009. Bahan Ajar Hukum Lingkungan Lanjutan. Program Megister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi. Jambi.

Salim H.S. 2002. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi. Sinar Grafika. Jakarta.

Soejono Soekanto. 1998. Teori Sosiologi, Tentang Pribadi dalam Masyarakat Ghalia Indonesia. Jakarta.

Sudikno Mertokusumo. 2007. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta.

Yuzirwan Rasyid. 2002. Hak Property Masyarakat Adat Minang Kabau atas Sumber Daya Hutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat adat tanggal 7 Mei 2002, yang diselenggarakan dalam Konsersium Studi Pengembangan Pengelolaan Hutan Adat di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat.





*Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung.
[1]Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi dasar munculnya Hak Menguasai Negara.
[2]Departemen Kehutanan Republik Indonesia Dirjend Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kerinci Integreted Conservation and Development Project (KS-ICDP) bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNKS), Taman Nasional Kerinci Seblat:Kerangka Kerja Pengelolaan 2002-2006, BTNKS, Sungai Penuh, 2002, hal. 1.
[3]Ibid.
[4]Yuzirwan Rasyid. Hak Property Masyarakat Adat Minang Kabau atas Sumber Daya Hutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat adat tanggal 7 Mei 2002, yang diselenggarakan dalam Konsersium Studi Pengembangan Pengelolaan Hutan Adat di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi.
[5]Sahuri Lasmadi, Bahan Ajar Hukum Lingkungan Lanjutan, Program Megister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi, 2010, hal. 1.
[6]Ibid., hal. 4.
[7]Salim H.S., Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 8-11.
[8]Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal. 77.
[9]Departemen Kehutanan, Op. Cit.,  hal. 10.