Sabtu, 28 Juli 2012

KONFLIK PERTANAHAN DAN SOLUSINYA


KONFLIK PERTANAHAN DAN SOLUSINYA
Oleh:
REKO DWI SALFUTRA, S.H., M.H.
Sekretaris Lembaga Mediasi Provinsi Jambi

         Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai landasan konstitusional, melalui batang tubuhnya Pasal 33 ayat (3) telah mewajibkan agar penggunaan sumber daya alam dan ekosistemnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
         Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut, dapat dimaksudkan, bahwa pada tingkat tertinggi, bumi, air dan kekayaan alam serta seluruh kandungannya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Penegasan terhadap konsepsi hak menguasai dari negara ini telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang memberi kekuasaan kepada negara untuk:

a.    Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.   Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

         Konstitusi Negara Republik Indonesia melalui Pasal 33 ayat (3) tersebut memberikan perlindungan tertinggi kepada setiap rakyat Indonesia dalam menikmati kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
         Adapun kekuasaan negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu sendiri, artinya sampai seberapa besar negara memberikan kekuasaannya kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Dengan demikian, wewenang mengatur yang dimiliki oleh negara itu dipergunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran yang akan dicapai adalah suatu kemakmuran  untuk sebanyak mungkin orang tanpa harus melanggar hak orang lain, termasuk hak penguasaan dan pemilikan atas tanah.
         Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960 sesuai dengan amanat dari konstitusi negara. UUPA tersebut dibentuk atas perintah dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA merupakan suatu bentuk instrumen hukum yang mengatur permasalahan agraria nasional yang telah dilakukan sebagai bentuk unifikasi hukum, sehingga berlaku secara nasional.
         Sehubungan dengan itu, lahirnya UUPA telah membawa dampak pada konsepsi dan tata susunan hukum tanah di Indonesia yang substansinya merupakan dasar pokok landasan terhadap perkembangan hukum tanah nasional yang sesuai dengan keperluan rakyat dan memenuhi kepentingannya seiring dengan perkembangan zaman demi suatu tujuan bersama untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan yang diselaraskan dengan asas-asas hukum agraria yang dikenal oleh negara Indonesia. Adapun asas umum agraria termaktub dalam UUPA, yaitu:
a.       Menurut hukum tanah nasional tidak ada kebebasan dalam pemindahan hak atas tanah, karena bagi tiap hak atas tanah ditentukan syarat yang harus dipenuhi oleh subjeknya;
b.      Status hukum tanah tidak mengikuti status hukum pemegang haknya;
c.       Tidak diadakan perbedaan antara sesama warga negara Indonesia, yang didasarkan atas perbedaan ras atau kelamin dan badan-badan hukum serta orang-orang asing terbuka untuk menguasai tanah dengan hak lain terkecuali hak milik, dan hal ini secara tegas ditentukan dengan peraturan perundang-undangan;
d.      Tiap warga negara Indonesia diperbolehkan menguasai tanah dengan hak apapun, kecuali secara tegas ada larangan yang tidak memungkinkannya.
         Melalui Pasal 4 ayat (1) UUPA, telah ditegaskan bahwa atas dasar Hak Menguasai Tanah dari Negara (HMN) sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Jadi, tanah tersebut dapat dikuasai dan dipergunakan secara pribadi atau bersama-sama.
         Sehubungan dengan hal di atas, dipahami bahwa tanah merupakan sumber daya penting dan strategis, karena menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar. Di samping itu, tanah juga memiliki karakteristik yang bersifat multi dimensi, multi sektoral, multi disiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi. Sebagaimana diketahui, masalah tanah merupakan masalah yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk Indonesia, tanah juga mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis. Sifat konstan tanah dan terus bertambahnya manusia yang membutuhkan tanah, semakin menambah tinggi nilai tanah.
         Demikian pentingnya kedudukan tanah tersebut, sehingga seringkali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut menimbulkan konflik antar sesama anggota masyarakat (konflik horisontal) maupun antara masyarakat dengan negara yaitu pemerintah (konflik vertikal). Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan perkara yang menyangkut persoalan tanah, sebagaimana dikatakan oleh Hambali Thalib:

Persentase konflik pertanahan dari tahun ke tahun baik yang diproses dan diselesaikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat konvensional, seperti proses perkara pidana, perkara perdata maupun proses perkara tata usaha negara, mengalami perkembangan baik kuantitas maupun kualitas, dengan modus operandi yang tidak dapat dijangkau oleh substansi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]

         Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Hambali Thalib juga menyatakan, bahwa:

Data lain menunjukkan, bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Ekonomi UGM Yogyakarta tentang konflik tanah, buruh, dan hak asasi manusia merupakan tiga persoalan yang dianggap paling sering muncul dalam pemberitaan di media-media massa, khususnya pada empat media massa nasional. Pada empat bulan pertama tahun 1994 menunjukkan bahwa meskipun tidak mencolok tajam perbedaannya, permasalahan (konflik pertanahan) menguasai 37% dari total pemberitaan untuk tiga persoalan tersebut, sedangkan persoalan buruh dan hak asasi manusia menguasai 35% dan 28% secara berurut[2].

         Dalam masa pemerintahan yang telah berlangsung di Indonesia, mulai dari orde lama, orde baru dan orde reformasi, ternyata permasalahan konflik tanah selalu mengalami perubahan. Hal tersebut dikatakan oleh Hambali Thalib yang menyatakan, bahwa:

Karakteristik konflik tanah pada masa pemerintahan Orde Baru selama kurang lebih 32 tahun sudah berubah, karena pengaruh negatif dari berbagai ekses pembangunan. Ekspresi konflik tanah menunjukkan suatu dimensi konflik tidak cukup hanya dipahami sebagai konflik tanah semata, tetapi mengandung konflik dimensi sistem ekonomi, dimensi hubungan mayoritas-minoritas, dimensi hubungan warga negara dengan negara, dimensi hubungan antar sistem ekologi dan dimensi hubungan laki-laki dan perempuan dalam akses dan kontrol terhadap tanah.[3]

         Pada hakekatnya secara yuridis formal peraturan perundang-undangan tentang pertanahan di Negara Republik Indonesia telah mengedepankan unsur keadilan. Sesuai dengan itu, menurut Boedi Harsono sebagaimana yang dikutip oleh Hambali Thalib menyatakan, bahwa ”landasan formal kita dalam melaksanakan reformasi pertanahan adalah UUPA, yang sesungguhnya syarat dengan semangat dan amanat untuk menciptakan keadilan di bidang pertanahan serta mengutamakan golongan ekonomi lemah”.[4]
         Dalam penyelesaian konflik pertanahan selalu menggunakan berbagai upaya, seperti penyelesaikan lewat pengadilan dan di luar pengadilan, sebagaimana dikatakan oleh Rizal Akbar Maya Poetra, bahwa:

Bagi kebanyakan Advokat, penyelesaian perkara diluar pengadilan diharapkan akan menjadi solusi yang terbaik bagi kliennya, yakni dapat menghemat waktu dan biaya, karena proses peradilan yang seharusnya dapat memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan, seringkali memerlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit-beli serta berlarut-larut bahkan kadang-kadang harus dilanjutkan oleh para ahli waris pencari keadilan serta menghabiskan dana yang tidak sedikit. Selain itu dari pengalaman selama menjalani profesi sebagai seorang Advokat/Pengacara, sangat dirasakan dalam penanganan perkara yang secara langsung menggunakan jalur penyelesaian melalui badan peradilan, yakni dalam Perkara Perdata maupun Perkara Tata Usaha Negara, sering kali tidak efektif dan hasilnya kontra produktif.[5]

         Di dalam sistem hukum nasional dikenal penyelesaian sengketa melalui lembaga di luar pengadilan/non litigasi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Salah satu alternatif penyelesaian sengketa adalah melalui proses mediasi yang merupakan proses penyelesaian berdasarkan prinsip-prinsip win-win solution yang diharapkan penyelesaiannya secara memuaskan yang dapat diterima semua pihak.
         Secara umum alternatif penyelesaian sengketa sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mekanisme yang ditempuh cenderung bersifat informal, sesuai dengan kebutuhan dan situasi kondisi yang ada. Dalam hal ini yang penting adalah membangun pengertian dan suasana agar para pihak terbuka untuk memahami kepentingan masing-masing dan berusaha memberi dan menerima untuk tercapainya jalan keluar secara win-win solution melalui musyawarah yang mereka tentukan dan sepakati sendiri dengan difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Hal tersebut juga searah dengan pernyataan Direktorat Konflik Pertanahan yang menegaskan:

Seiring dengan perjalanan waktu, penyelesaian sengketa/konflik melalui musyawarah semakin banyak dilakukan. Sengketa/konflik pertanahan yang lebih banyak berkaitan dengan masalah kepentingan atau interest para pihak, relatif lebih mudah untuk diselesaikan melalui cara musyawarah sepanjang kedua belah pihak saling terbuka dan menginginkan jalan keluar terbaik bagi semua pihak. Terhadap penyelesaian sengketa/konflik melalui peradilan, salah satu hambatannya adalah seringkali sulit melaksanakan putusan pengadilan, dalam hal ini terdapat putusan pengadilan perdata, pidana, dari Pengadilan Negeri /Pengadilan Tata Usaha Negara sampai Kasasi bahkan Peninjauan Kembali yang tidak konsisten satu sama lain terhadap satu obyek sengketa/konflik.[6]

         Di sisi lain pola penyelesaian konflik pertanahan juga diungkapkan oleh Arie Hutagalung yang menyatakan, bahwa ”cara-cara penyelesaian sengketa pertanahan dapat dilaksanakan melalui musyawarah, Badan Peradilan, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Cara-cara melalui Arbitrase dan APS lebih dianjurkan untuk mencegah konflik yang berkepanjangan”.[7]
         Selanjutnya data pada Direktorat Konflik Pertanahan menunjukkan bahwa sengketa pertanahan atau agraria modern di Indonesia mempunyai sejarah panjang, setidaknya merentang mulai masa kolonial dulu. Peninggalan dari penjajahan masa lalu masih dirasakan oleh Bangsa Indonesia sampai saat ini. Dari data empiris sengketa/konflik mengenai pertanahan di Indonesia cukup tinggi bila dibandingkan dengan sengketa/konflik lain dalam perkara perdata, baik di pengadilan tinggi pertama maupun yang telah masuk ke Mahkamah Agung. Sengketa/konflik pertanahan di Indonesia kini kian meningkat dan kompleks, dari semula hanya sekitar 2.000 kasus kini menjadi 7.491 (data Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2008) kasus secara nasional. Sebagian besar kasus tanah itu sangat rumit penyelesaiannya karena menyangkut beberapa unsur yang komplek. Maria SW juga memberikan pendapatnya, yaitu:

Sengketa apa saja yang sesuai untuk diselesaikan melalui mediasi? Walaupun ada pendapat yang menyatakan bahwa mediasi dapat dipilih untuk segala macam sengketa, karena yang terpenting adalah itikad para pihak untuk menyelesaikan sengketanya, namun menurut pengalaman di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, pada umumnya mediasi lebih sesuai untuk diterapkan dalam kasus-kasus yang menyangkut kelangsungan hubungan antara para pihak, kasus-kasus dengan keseimbangan kekuatan (power) antara kedua belah pihak, sengketa yang berjangka waktu singkat, atau sengketa yang tidak pasti hasil akhirnya bila dibawa ke pengadilan.[8]

         Di dalam Press Release Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Iindonesia dan Kepolisian Republik Indonesia Tahun 2008 disampaikan, bahwa luas tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan, digunakan secara optimal seluas 607.886 ha. (Enam ratus tujuh ribu delapan ratus delapan puluh enam hektar), 6.078.860.000 M2 (Enam milyar tujuh puluh delapan juta delapan ratus enam puluh ribu meter persegi). Nilai ekonomi tanah yang menjadi obyek sengketa sebesar: 6.078.860.000 M2 x Rp 15.000 (NJOP Tanah Terendah) = Rp 91.182.900.000.000 (Sembilan puluh satu trilyun seratus delapan puluh dua milyar sembilan ratus juta rupiah). Dengan mempergunakan rumus periode pembungaan selama 5 tahun dan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10%, maka diperoleh potensi nilai ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp146.804.460.000.000,- (Seratus empat puluh enam trilyun delapan ratus empat milyar empat ratus enam puluh juta rupiah).[9]
         Pada kenyataannya dalam penyelesaikan persoalan konflik pertanahan selalu mengalami perkembangan dan mempunyai karakter yang berkaitan dengan kasus-kasus lama sebagai akibat pola kebijakan dari pemerintah daerah yang masih jauh dari unsur keadilan. Hal tersebut searah dengan pendapat  Joyo Winoto yang mengatakan, bahwa sengketa dan konflik pertanahan merupakan fenomena sehari-hari. Semakin kita dalami, semakin banyak kasus lama yang terungkap. Banyak sengketa yang melahirkan sengketa baru. Umumnya tanah dalam sengketa adalah tanah yang diperlakukan status quo, tidak diusahakan. Kerugian masyarakat menumpuk sepanjang umur sengketa. Sampai hari ini, kita masih menemukan sengketa tanah telah mengganggu harmoni sosial di berbagai wilayah. Sengketa tanah bisa lahir secara alamiah, tetapi tidak sedikit pula yang lahir karena rekayasa lahir karena permainan mafia tanah. Permainan pertanahan adalah permainan kehidupan. Sekali kita eksekusi tanah, saat itu terlepas hubungan manusia tersebut dengan tanahnya – terlepas manusia dari sumber kehidupannya, dari tempat tinggalnya, dari kehormatannya. Sengketa tanah harus diatasi. Terlalu beresiko secara sosial untuk membiarkan tidak tertangani dan dibiarkan berkembang. Negara dan kita semua berkepentingan atas tuntasnya sengketa pertanahan.[10]
         Pemahaman terhadap berbagai akar permasalahan tersebut di atas dapat dijadikan titik tolak dalam upaya dan tindakan penyelesaian sengketa/konflik pertanahan yang timbul. Selanjutnya, khusus untuk penyelesaian sengketa pertanahan yang difasilitasi oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional) dengan terbitnya keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, maka mekanisme pelaksanaan penyelesaian sengketa pertanahan melalui mediasi cenderung bersifat formal.


[1]Hambali Thalib, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Kebijakan Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Edisi I Cetakan ke-2, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2009, hal. 45.
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Ibid., hal. 46
[5]Rizal Akbar Maya Poetra, Strategi Dalam Penanganan Sengketa Pertanahan disampaikan dalam rangka Workshop Nasional Strategi Penanganan dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan Tahun 2007, diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di Sindhu Hotel Sanur-BALI, Rabu 14 Nopember 2007.
[6]Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Penyelesaian Konflik Pertanahan, Direktorat Konflik Pertanahan, 2008, hal. 9.
[7]Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Cetakan I, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta,  2005, hal. 386.
[8]Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,                       PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2001, hal. 179.
[9]Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kebijakan Ka BPN RI dalam Penanganan dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan, 2008, hal. 9.
[10]Joyo Winoto, Sambutan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Peringatan Hari Agraria Nasional dan Peringatan HUT UUPA Ke – 48, Menggerakkan aset, menyelamatkan bangsa, tanah, negara dan kemakmuran rakyat, 2008, hal. 4. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar