TANGGUNG JAWAB KONSULTAN DALAM PEMBUATAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL) DI PROVINSI
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Oleh:
Yokotani, S.H., M.H., Reko Dwi Salfutra, S.H., M.H., dan Wirazilmustaan, S.H., M.H.*
A.
PENDAHULUAN
Pancasila[1]
merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh yang memberikan keyakinan dan
kepercayaan kepada masyarakat Indonesia, bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai,
jika didasarkan atas keselarasan, keserasian dan keseimbangan, baik dalam
hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk ciptaan-Nya, maupun
manusia dengan alam dan manusia sebagai pribadi (personal) dalam rangka
mencapai suatu kemajuan lahir maupun kebahagiaan batin. Antara manusia,
masyarakat dan lingkungan terdapat hubungan timbal balik yang selalu harus
dibina dan dikembangkan agar dapat tetap dalam keselarasan, keserasian dan keseimbangan yang dinamis.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai landasan konstitusional melalui ketentuan Pasal 33 ayat (3) telah
mewajibkan agar penggunaan sumber daya alam dan ekosistemnya dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konstitusi Negara
Republik Indonesia tersebut memberikan perlindungan tertinggi kepada setiap
rakyat Indonesia dalam menikmati kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
untuk dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya dengan pemanfaatan
sumber daya alam berupa lingkungan hidup seiring dengan perkembangan zaman yang
membutuhkan sumber daya alam dalam artian pembangunan, maka dampak yang timbul
tidak selamanya baik dan bermanfaat bagi manusia, malahan dapat membahayakan
kehidupan manusia. Pembangunan memanfaatkan secara
terus-menerus sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup
masyarakat. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam sangat terbatas dan
tidak merata, baik dalam segi kuantitas maupun dalam segi kualitasnya,
sedangkan permintaan akan sumber daya alam tersebut makin meningkat sebagai
akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang
meningkat dan beragam.
Memasuki era globalisasi yang penuh ketidakpastian telah
merubah lingkungan yang tenang, mudah diramalkan dan sederhana menjadi
bergejolak, sukar diramalkan dan kompleks. Untuk menghadapi globalisasi tersebut, diperlukan
kemandirian dan partisipasi serta kerja sama. Seiring dengan perkembangan
pembangunan, konsep pembangunan yang dibutuhkan untuk menghadapi globalisasi di
dalam upaya perlindungan kawasan lingkungan hidup adalah ”pembangunan yang
tidak mempertentangkan pertumbuhan dan pemerataan atau konsep yang bertumpu
pada pemberdayaan dan partisipasi masyarakat atau yang sering disebut dengan
konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)”.[2] Di dalam konsep ini, ”masyarakat memiliki
hak untuk berpasrtisipasi dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan kontrol”.[3]
Sesuai dengan itu, menurut
Addinul Yakin menyatakan, bahwa ”proses pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan
sering bertentangan dengan prinsip pelestarian dan perlindungan lingkungan,
sehingga sering dikatakan bahwa antara pembangunan dan lingkungan terkesan
kontradiktif”.[4] Tetapi hal ini tidaklah selalu benar, karena dua
kepentingan ini bisa saling berinteraksi atau diintegrasikan, sehingga
kepentingan pembangunan dan lingkungan bisa sama-sama tercapai. Akibat kuatnya
saling interaksi dan ketergantungan antara dua faktor tersebut, diperlukan
pendekatan yang cocok bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan atau
pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development). Sesuai
dengan itu, menurut Ginandjar Kartasasmita menyatakan, bahwa ”dalam kata pembangunan, hal yang sangat
pokok yaitu adanya hakikat membangun, yang berlawanan dengan merusak”.[5] Oleh karena itu, perubahan
ke arah keadaan yang lebih baik seperti yang diinginkan dan dengan upaya yang
terencana, harus dilakukan melalui jalan yang tidak merusak, tetapi justru
mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada.
Penyelenggaraan pengelolaan kawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan pelestarian lingkungan termasuk ekosistemnya
harus didasarkan kepada instrumen hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat
dan perkembangan lingkungan global,karena unsur-unsur sumber daya hayati dan
ekosistemnya saling bergantung antara satu dengan lainnya, dan pemanfaatannya
akan saling mempengaruhi, sehingga “kerusakan dan kepunahan salah satu
daripadanya akan berakibat terganggunya ekosistem, maka diperlukan suatu
pengaturan pemanfaatannya dan perlindungan ekosistemnya”.[6]
Oleh
sebab itu, dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan seiring dengan pembangun di bidang lingkungan harus adanya langkah
sinergis dan strategis. Adapun salah satu langkah stategis yang dapat dilakukan
tersebut adalah “dengan adanya pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL)”.[7] Dengan
adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terhadap suatu proses
pembangunan, maka diharapkan dapat meminimalisirkan dampak dari kerusakan
lingkungan dari setiap tindakan pembangunan itu sendiri.
Ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menentukan, bahwa:
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan kajian
mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.[8]
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat dipahami
bahwa secara yuridis, analisis mengenai dampak lingkungan dibutuhkan hanya
terhadap kegiatan pembangunan yang berdampak penting. Akan tetapi, formulasi
hukum tidak secara jelas memberikan batas, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif tentang apa yang merupakan dampak yang penting. Secara yuridis,
hanya menyatakan dampak penting itu berupa perubahan lingkungan, yaitu yang
sangat mendasar bersumber dari suatu kegiatan.
Sehubungan dengan itu, berdasarkan ketentuan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Penyusunan Dokumen
Lingkungan Hidup menentukan, bahwa lembaga penyedia jasa penyusun dokumen
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah badan hukum yang bergerak
dalam bidang jasa penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL). Setiap penyedia jasa pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), yaitu konsultan hukum dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) tidak boleh membuat suatu dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan.
Artinya, bahwa setiap konsultan hukum memiliki peranan yang sangat strategis
dalam pembuatan suatu dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Oleh
sebab itu, secara yuridis setiap konsultan hukum memiliki tanggung jawab atas
semua keterangan yang diberikan dalam pembuatan dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL). Akan tetapi, dalam realita sehari-hari, keterangan
dari konsultan hukum yang membuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) seringkali melenceng dari apa
yang telah diprediksikannya dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL). Sehingga, suatu kegiatan pembangunan yang sebenarnya telah
dibuatkannya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang berfungsi
untuk meminimalisirkan potensi terjadinya pencemaran terhadap lingkungan, malah
dalam realitanya sangat kontradiktif. Permasalahan mengenai dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) ini pun terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung, salah satunya terjadi di Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung, di mana masyarakat mempertanyakan pembuatan dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dilakukan oleh konsultan, karena
“masyarakat di daerah tersebut merasa tidak dilibatkan di dalam perumusannya”.[9] Bahkan,
konsultan hukum yang membuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) seakan lari dari tanggung jawab atas terjadinya suatu pencemaran
lingkungan akibat suatu kegiatan pembangunan yang telah ia buat dokumen
Analisis Mengenai Dampak Lingkungannya.
|
Oleh sebab itu, diperlukan suatu
bentuk peran aktif dari pemerintah untuk mengantisipasi setiap permasalahan
hukum di atas. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
menentukan, bahwa:
a.
melindungi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
b.
menjamin
keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c.
menjamin
kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d.
menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e.
mencapai
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f.
menjamin
terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g.
menjamin
pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak
asasi manusia;
h.
mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i.
mewujudkan
pembangunan berkelanjutan; dan
j.
mengantisipasi
isu lingkungan global.[10]
Penegakan hukum harus dijalankan berdasarkan peraturan
perundang undangan yang berlaku. Dasar hukum digunakan sebagai ”rujukan dan
alasan mengapa dan bagaimana suatu pelanggaran telah terjadi”,[11] sehingga akan diketahui jalur hukum serta
prosedur yang akan dilalui di dalam penegakan hukum sebagai upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup ke depan yang lebih terarah dan lebih baik.
Dari latar belakang diatas dapat dibuat beberapa rumusan masalah yaitu
1.
Bagaimana pengaturan tanggung
jawab konsultan dalam pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan dalam
perspektif peraturan perundang-undangan di Indonesia?
2.
Bagaimana implementasi tanggung
jawab konsultan dalam pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung?
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengaturan
Tanggung Jawab Konsultan dalam Pembuatan AMDAL
Lingkungan hidup merupakan anugerah
dari Tuhan Yang Maha Esa, di mana didalamnya manusia menjalankan berbagai aktifitas,
berinteraksi dengan komponen-komponen lain yang ada guna mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Semula, lingkungan hidup tersebut merupakan lingkungan
yang memang sudah ada secara ilmiah, akan tetapi dalam perkembangannya manusia
melakukan berbagai macam perubahan sehingga menimbulkan kondisi lingkungan yang
baru. Kemampuan manusia untuk merubah lingkungan dan menimbulkan hal-hal baru
tersebut turut mempengaruhi keseimbangan lingkungan hidup. Apabila keseimbangan
lingkungan tersebut terganggu, dikhawatirkan akan menimbulkan reaksi balik dari
lingkungan yang kemudian dapat menimbulkan bencana.
Indonesia adalah negara yang kaya
dengan sumber daya alam. Hal ini merupakan salah satu modal untuk melaksanakan
pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akan
tetapi, sumber daya alam adalah sesuatu yang terbatas, sementara pertumbuhan
penduduk yang membutuhkan ketersediaan lingkungan tidak sebanding dengan
ketersediaan lingkungan itu sendiri.
Sepanjang manusia berusaha berusaha
memenuhi kebutuhan hidup dengan tidak memikirkan cara untuk menjaga keselamatan
dan keseimbangan lingkungan hidup, maka permasalahan lingkungan hidup akan
terus muncul dan membahayakan. Apabila proses pencemaran lingkungan hidup
tersebut dibiarkan secara terus menerus akan mengakibatkan kerugian yang sangat
besar bagi semua pihak. Salah satu kebutuhan manusia yang pemenuhannya
bersinggungan dengan lingkungan hidup adalah kebutuhan ekonomi. Sebagai bentuk
upaya untuk memenuhi kebutuhan ini, masyarakat melakukan berbagai macam
kegiatan, termasuk mendirikan ins=dustri-industri yang mengolah sumber daya
alam sebagai bahan baku.
Pendirian industri diawali dengan
pembukaan lahan yang merupakan kawasan lingkungan untuk dijadikan wilayah
industri dan wilayah budidaya tanaman tertentu. Dalam proses pembukaan lahan
seringkali menimbulkan perubahan terhadap kondisi ideal lingkungan, bahkan
dalam operasionalnya industri yang didirikan juga dapat menimbulkan dampak
negatif bagi lingkungan, seperti pencemaran lingkungan karena limbah
buangannya.
Oleh sebab itu, dalam upaya menekan
atau meminimalkan dampak negatif akibat kegiatan yang mungkin terjadi terhadap
lingkungan sebagai bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka
diperlukan suatu bentuk pembinaan bagi setiap kegiatan yang menyangkut
ekploitasi sumber daya alam dan berpotensi untuk menimbulkan dampak negatif
bagi lingkungan hidup agar penurunan akibat eksploitasi diimbangi dengan
pemeliharaan lingkungan itu sendiri serta diperlukan suatu bentuk kajian yang
baik dan benar tentang dampak-dampak yang mungkin dapat diminimalkan akibat
aktivitas eksploitasi sumber daya alam tersebut.
Menurut Emil Salim menyatakan, bahwa
“adapun perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut memiliki ruang
lingkup mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum”.[12] Dengan
demikian, konsep pembangunan yang berkelanjutan terhadap pengelolaan lingkungan
hidup dapat dilaksanakan sebagaimana amanatk ketentuan Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, menentukan bahwa:
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di
atas, dipahami bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan upaya sadar dan
terencana dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk
mencapai tujuan pembangunan, yakni meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
dan bangsa Indonesia. Pembangunan tersebut dari masa ke masa terus berlanjut
dan berkesinambungan serta selalu ditingkatkan pelaksanaannya, sehingga pada
akhirnya dapat berguna dalam memenuhi dan meningkatkan kebutuhan penduduk.
Pelaksanaan pembangunan sebagai
kegiatan yang berkesinambungan dan selalu meningkat seiring dengan baik dan
meningkatnya jumlah dan kebutuhan penduduk, menarik serta mengundang resiko
pencemaran dan perusakan yang disebabkan oleh tekanan kebutuhan pembangunan
terhadap sumber daya alam, tekanan yang semakin besar tersebut ada dan dapat
mengganggu, merusak struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang
kehidupan.
Sebagai bentuk upaya dalam rangka
mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam dengan maksud agar
lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara keberadaan dan
kemampuan dalam mendukung berlanjutnya pembangunan, maka setiap aktivitas
pembangunan haruslah dilandasi oleh dasar-dasar pertimbangan pelestarian dan
perlindungan akan sumber daya alam itu sendiri.
Sesuai dengan itu, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung sebagai salah satu daerah pemekaran dengan sejumlah
industri yang ada, terutama yang menyangkut masalah pertambangan, harus mampu
untuk membangun daerahnya ke arah yang lebih baik dengan tetap mempertahankan
kondisi lingkungan yang baik. Namun demikian, dalam perjalanan pembangunan di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tersebut, terdapat permasalahan-permasalahan
yang harus ditangani secara benar sesuai apa yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, seperti pembuatan terhadap dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) yang diharapkan dapat menjadi kajian yang komprehensif dalam
rangka meminimalkan dampak-dampak dari suatu kegiatan pembangunan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka
11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, ditentukan bahwa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
adalah “kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan”. Sesuai dengan itu, menurut
Daud Silalahi menyatakan, bahwa:
Keinginan untuk mempengaruhi pengaruh negatif dan resiko pada
tingkat yang mungkin (Risk Assesment) dan mengelola resikonya (Risk
Management) melalui mekanisme dan sistem hukum lingkungan dalam apa yang
disebut sebagai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)”.[13]
Atas dasar pemikiran di atas,
dipahami bahwa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan suatu
bentuk dokumen analisis yang sangat penting untuk disusun sehubungan dengan
pemanfaatan sumber daya lingkungan hidup, seperti:
1.
Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) akan membantu memberikan uraian keterkaitan
perundang-undangan dan pelaksanaan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan undang-undang atau ketentuan
hukum sektoral untuk memperoleh persamaan persepsi dan penafsiran atas hukum
yang mengatur pelaksanaan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) dilihat dari penyusunan, penilaian, dan
pengambilan keputusan.
2.
Pengaruh dari kualifikasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
oleh perangkat aparatur pemerintah yang memiliki kriteria keahlian khusus dalam
proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) sebagai penanggung jawab utama. Status AMDAL dalam proses
pengambilan keputusan sebagai Significant Agency Expertise yang memegang
yurisdiksi kewenangan dan merupakan ruang lingkupnya yang lebih utama dalam
masalah hukum yang timbul di kemudian hari.[14]
Sehubungan dengan hal tersebut di
atas, untuk menciptakan suatu pembangunan yang berkesinambungan, faktor
lingkungan hidup menjadi perhatian yang utama. Oleh karena itu pembangunan yang
memungkinkan timbulnya dampak penting terhadap lingkungan harus dibuat Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kewajiban membuat Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan didasarkan pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menentukan, bahwa “setiap
usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib
memiliki analisis mengenai dampak lingkungan”.
Dampak penting di sini yang dimaksud
adalah dampak yang terjadi setelah pembangunan berjalan, tugas Konsultan
membuat analisa sehingga dampak tersebut dapat diprediksi untuk selanjutnya
ditemukan solusi sebagai bentuk upaya antisipasi. Sedangkan dampak penting di
sini adalah dampak yang terjadi setelah pembangunan, di mana penanganannya
dengan cara konsultan membuat analisa terhadap dampak tersebut, sehingga tidak
merusak tatanan dari suatu kawasan lingkungan.
Sesuai dengan itu, ketentuan Pasal
22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup tersebut di atas, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Peraturan Pemerintah ini merupakan tonggak sejarah yang amat penting dalam
rangka pembangunan berwawasan lingkungan.
Pada pembuatan dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), apabila Pemrakarsa merasa tidak mampu
membuat sendiri, maka diperlukan kerjasama antara Pemrakarsa dengan badan hukum
Konsultan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun
Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan
Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang
menentukan, bahwa:
Dalam
penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemrakarsa dapat meminta bantuan kepada lembaga
penyedia jasa penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
yang telah mendapatkan tanda registrasi kompetensi.
Berdasarkan ketentuan di atas,
diketahui bahwa tanggung jawab Konsultan diperlukan dalam pembuatan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Semua proyek atau pembangunan dalam suatu
lingkungan hidup dianalisis, yang diharapkan agar setiap kegiatan pembangunan
tidak berdampak buruk pada lingkungan. Oleh sebab itu, melalui ketentuan Pasal
2 ayat (3) dan Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010
Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menentukan persyaratan-persyaratan
yang harus dipenuhi bagi konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7
Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menentukan, bahwa “penyusun dokumen
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) wajib memiliki sertifikat Kompentensi”. Lebih lanjut, dalam Pasal
3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi
Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan
Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup menentukan, bahwa:
Lembaga penyedia
jasa penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) wajib memenuhi persyaratan:
a. berbadan
hukum;
b. memiliki
paling sedikit 2 (dua) orang tenaga tetap penyusun dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memiliki sertifikat kompetensi dengan
kualifikasi ketua tim penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL);
c. memiliki
perjanjian kerja dengan tenaga tidak tetap penyusun dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan seluruh personil yang terlibat
dalam penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk dalam hal ketidakberpihakan;
d. memiliki
sistem manajemen mutu; dan
e. melaksanakan
pengendalian mutu internal terhadap pelaksanaanpenyusunan dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), termasuk menjaga prinsip ketidakberpihakan
dan/atau menghindari konflik kepentingan.
Berdasarkan hal tersebut di atas,
dipahami bahwa Konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
bertanggung jawab atas semua data yang dibuatnya. Data yang dibuatnya tersebut
adalah hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang laporannya berbentuk
dokumen AMDAL. Oleh karena itu, seorang Konsultan tidak boleh menyimpang dari
ketentuan di atas.
Sehubungan dengan itu, di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai tanggung jawab ini diatur dalam
Pasal 1801 dan Pasal 1803 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1801 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, bahwa “Si kuasa tidak saja bertanggung
jawab tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tapi juga
tentang kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya. Akan tetapi,
tanggung jawab tentang kelalaian bagi seseorang yang dengan cuma-cuma menerima
kuasa adalah tidak begitu berat, seperti yang dapat diminta dari seseorang yang
untuk itu menerima upah”. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1803 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, bahwa:
Penerima kuasa bertanggungjawab atas
orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinyadalam melaksanakan kuasanya:
1.
bila
tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
2.
bila
kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu sedangkan orang yang
dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu. Pemberi kuasa
senantiasa dianggap telah memberi kuasa kepada penerima kuasanya untuk menunjuk
seorang lain sebagai penggantinya untuk mengurus barang-barang yang berada di
luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa. Pemberi
kuasa dalam segala hal, dapat secara langsung mengajukan tuntutan kepada orang
yang telah ditunjuk oleh penerima kuasa sebagai penggantinya.
2.
Implementasi
Tanggung Jawab Konsultan dalam Pembuatan AMDAL di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung
Salah satu
pihak yang berjasa dan bertanggungjawab dalam penyusunan laporan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) adalah konsultan. Dokumen yang telah disusun tersebut memuat kajian
mengenai dampak penting dalam suatu usaha yang direncanakan pada lingkungan
hidup untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan usaha tersebut.
Setiap
perusahaan sebagai pemrakarsa haruslah tidak sembarangan memilih konsultan pembuat dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atas usaha atau kegiatan yang akan
dilakukannya. Di lain sisi, konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga harus
memenuhi syarat-syarat ataupun standar tertentu sebagai konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, pada tahun
2010, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun
Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan
Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang
menentukan, bahwa:
Lembaga penyedia
jasa penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) wajib memenuhi persyaratan:
a. berbadan
hukum;
b. memiliki
paling sedikit 2 (dua) orang tenaga tetap penyusun dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memiliki sertifikat kompetensi dengan
kualifikasi ketua tim penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL);
c. memiliki
perjanjian kerja dengan tenaga tidak tetap penyusun dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan seluruh personil yang terlibat
dalam penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk dalam hal ketidakberpihakan;
d. memiliki
sistem manajemen mutu; dan
e. melaksanakan
pengendalian mutu internal terhadap pelaksanaanpenyusunan dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), termasuk menjaga prinsip ketidakberpihakan
dan/atau menghindari konflik kepentingan.
Adapun syarat tersebut harus
dipenuhi bagi setiap konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), baik dalam pengertian konsultan yang berbentuk badan hukum
maupun dalam bentuk perseorangan. Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut di
atas, maka setiap pemrakarsa dapat menggunakan jasa dari konsultan pembuat
dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan cara mengeluarkan
surat perintah kerja dalam pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL).
Setelah pernyataan surat perintah kerja dari pihak
Pemrakarsa kepada pihak konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) beserta syarat-syarat
lainnya, kemudian dilanjutkan pelaksanaan tugas-tugas yang harus dikerjakan
bagi setiap konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Tugas-tugas Konsultan meliputi
tugas pokok, tugas yang diperjanjikan, dan tugas yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, menurut Eddu Novandaharto menyatakan bahwa secara
umum terdapat kewajiban-kewajiban dan hak-hak konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sebagai berikut:
a. Kewajiban-kewajiban
konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yaitu:
(1) Melaksanakan
pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
(2) Melaporkan
pelaksanaan pekerjaan secara periodik kepada Pemrakarsa;
(3) Menyelesaikan
dan menyerahkan pekerjaan sesuai dengan ketentuan;
(4) Menjaga
keselamatan para pekerja dan menanggung segala resiko keselamatan kerja yang
timbul selama pelaksanaan pekerjaan;
(5) Menjaga
ketertiban lingkungan dalam pelaksanaan pekerjaan
(6) Memelihara
bangunan selama 3 bulan setelah bangunan diserahkan kepada Pemrakarsa sesuai
Berita Acara Serah Terima;
(7) Wajib
mengasuransikan bangunan dari bahaya, seperti: kebakaran, huru-hara dan bencana
alam, sampai dengan 3 bulan setelah bangunan diserahkan oleh pihak Pemrakarsa;
(8) Apabila
Konsultan lalai atau dengan sengaja tidak mengasuransikan bangunan dan terjadi
suatu resiko seperti: kebakaran, huru-hara dan bencana alam, maka pembangunan
kembali menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan penuh oleh Konsultan.
b. Hak-hak
pembuat dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yaitu:
(1) Berhak
mendapatkan data-data yang diperlukan dari dinas-dinas yang terkait;
(2) Berhak
mendapatkan informasi dan keterangan dari pihak-pihak yang berkepentingan;
(3) Menerima
pembayaran atas pekerjaan yang telah diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang
disepakati;
(4) Dilarang
menyerahkan pelaksanaan pekerjaan, baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak
lain tanpa sepengetahuan Pemrakarsa.[15]
Selain
kewajiban-kewajiban tersebut di atas, berdasarkan hasil wawancara dengan Robi
menyatakan, bahwa:
Dalam
pelaksanaannya konsultan pembuat dokumenAnalisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga memiliki kewajiban, yaitu:
(1) Konsultan
harus mengawasi kemajuan pelaksanaan dan mengambil keputusan yang tepat dan
cepat agar batas waktu pelaksanaan minimal sesuai dengan jadwal yang
ditentukan.
(2) Memberikan
masukan pendapat teknis tentang penambahan atau pengurangan kegiatan yang dapat
mempengaruhi biaya dan waktu pekerjaan serta berpengaruh pada ketentuan
kontrak.
(3) Memberikan
petunjuk, perintah sejauh tidak mengenal pengurangan dan penambahan biaya dan
waktu pekerjaan serta tidak menyimpang dalam kontrak.[16]
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara
diketahui bahwa konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) dalam melaksanakan tugas-tugasnya sudah sesuai dengan tugas pokoknya
dan sesuai dengan ketentuan yang telah diperjanjikan antar pihak, yaitu antara
konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan pihak
pemrakarsa. Namun tugas-tugas yang ada dalam peraturan perundang-undangan tidak
seluruhnya dilaksanakan oleh konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Ada kewajiban-kewajiban yang masih menjadi tanggung jawab
konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), akan tetapi
tidak dilaksanakan. Menurut Robi menyatakan, bahwa:
Adapun kewajiban-kewajiban tersebut, antara lain: terkait
dengan para pekerja, seperti: menjaga keselamatan dan menanggung resiko mereka
dalam melaksanakan tugas, serta pemeliharaan bangunan pasca penyusunan atau
pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).[17]
Lebih
lanjut, menurut Robi menyatakan, bahwa “hal tersebut terjadi sebagai akibat
dari ketidakjelasan perjanjian yang dibuat diawal oleh pemrakarsa dan konsultan
pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)”.[18]
Sebagai akibat dari awal perjanjian pihak Pemrakarsa kurang teliti, maka segala
hal yang terjadi setelah pasca dikeluarkannya dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan dalam bentuk izin usaha menjadi tanggung jawab pihak pemrakarsa.
Sesuai dengan itu, menurut Saragih menyatakan, bahwa:
Konsultan AMDAL tidak memiliki kewenangan dan tidak
bertanggung jawab terhadap dokumen AMDAL yang merupakan prediksi atas suatu
kegiatan usaha yang telah dibuatnya apabila dokumen tersebut telah disetujui
dan diterbitkan izin usaha oleh pemerintah. Jika terjadi pencemaran, yang
memiliki tanggung jawab adalah pemrakarsa atau pemerintah yang telah
menerbitkan izin usaha tersebut.[19]
Hal ini tentu akan membawa kerugian
dari pihak pemrakarsa, sebab dengan menggunakan jasa konsultan pembuatan
dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), diharapkan dapat
meminimalkan resiko kegiatan usaha, namun setelah kegiatan dilaksanakan, semua
resiko yang telah diprediksi timbul menjadi permasalahan yang bersentuhan
dengan lingkungan. Padahal, konsultan pembuatan dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan pihak yang ikut dalam perencanaan atas
suatu kegiatan, sehingga sewajarnya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
hukum apabila terjadi pencemaran lingkungan atas suatu kegiatan.
Berdasarkan hasil data yang
diperoleh, diketahui bahwa pelaksanaan tanggung jawab konsultan pembuatan
dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung hanya terbatas pada isi perjanjian. Pelaksanaan yang ada dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak semua dilaksanakan pihak
konsultan pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),
seperti pengawasan pasca dikeluarkannya dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Secara yuridis, konsultan pembuat dokumenAnalisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Hal ini
sesuai dengan prinsip strict liability, yang artinya apabila pencemar
atau perusak tersebut adalah konsultan pembuatan dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), maka konsultan pembuatan dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) terbukti lalai dalam hasil kajian tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga ia masih memiliki tanggung jawab.
C.
PENUTUP
1. Kesimpulan
a.
Tanggungjawab konsultan dalam pembuatan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diatur dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi
Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga
Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
yang menentukan, bahwa konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) bertanggung jawab atas semua data yang dibuatnya. Data yang dibuatnya
tersebut adalah hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang laporannya
berbentuk dokumen AMDAL.
b.
Konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) bertanggungjawab atas segala pembuatan dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) perusahaan (pemrakarsa) yang menunjuknya.
Tanggungjawab konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
akan selesai sampai batas perjanjian dengan perusahaan pemrakarsa yang
menunjuknya, yaitu ketika dokumen itu telah disetujui oleh pemerintah dalam
bentuk telah dinilai oleh Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL).
2. Saran
a. Perlunya
optimalisasi dari penegakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun Dokumen
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan
Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, sehingga
diharapkan pengaturan mengenai tanggungjawab konsultan pembuat dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dapat lebih baik;
b. Perlunya
pengaturan yang lebih tegas, jelas dan komprehensif mengenai tanggungjawab dari
konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga
konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak hanya
bertanggungjawab atas penyusunan, tetapi juga bertanggungjawab apabila terjadi
pencemaran terhadap lingkungan.
D.
DAFTAR
PUSTAKA
Addinul Yakin. 1997. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Teori
dun Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta Akademika Presindo.
Jakarta.
Ahmadi. “Walhi
Babel Soroti Amdal Penambangan Pasir Kuarsa”. http://m.antarababel.com/berita/9847/walhibabelsorotiamdalpenambangan
pasirkuarsa. Diakses pada hari Jum’at tanggal 24 April 2015 pukul 21:00
wib.
Agenda 21 Sektoral. 2000. Agenda
ENERGI Untuk Pembangunan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Proyek Agenda 21 Sektoral Kerjasama Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan UNDP. Jakarta.
Andi Hamzah.
1986. Kamus Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.
A. Sonny Keraf.
2006. Etika Lingkungan. Penerbit Buku
Kompas. Jakarta.
Bahder Johan Nasution. 2008. Metode
Penelitian Ilmu Hukum.Cetakan
Pertama. CV. Mandar Maju. Bandung.
Daud Silalahi. 2001.Hukum Lingkungan dalam Sistem
Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni. Bandung.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Emil Salim. 2010.Ratusan
Bangsa Merusak Satu Bumi. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Eri Triana Sari. 2009.Tanggungjawab Konsultan dalam Pembuatan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di CV. Daya Cipta Mandiri). FH
Universitas Semarang. Semarang.
Ginandjar Kartasasmita. 1997.
Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia.
Pustaka LP3ES. Jakarta.
Haerudin R. Sadjudin. Panduan Penegakan Hukum dalam penyelamatan
Hutan. Inform (Indonesia Forest and Media).
Jakarta.
Helmi. 2012. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup. Sinar
Grafika. Jakarta.
Magister Ilmu Hukum. 2008. Pedoman
Tesis Magister Ilmu Hukum. Program Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Jambi. Jambi.
M. Saifudin.
2013. “Tanggung Jawab Konsultan AMDAL dalam Pembuatan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan”. Makalah. Fakultas Hukum
Universitas Mulawarman.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
Sahuri Lasmadi.
2009. Bahan Ajar Hukum Lingkungan Lanjutan. Program Megister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Jambi. Jambi.
Salim, H.S. Dasar-Dasar
Hukum Keluitanan. Edisi Revisi. Sinar Grafika. Jakarta.
Zaenal Bahri.
1993. Kamus Umum: Khusus Bidang Hukum dan
Politik. Angkasa. Bandung.
[1]Pancasila sebagai dasar, ideologi
dan falsafah hidup bangsa Indonesia (Staatfundamental Norm).
[2]Agenda 21 Sektoral,Agenda
ENERGI Untuk Pembangunan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan,Proyek Agenda 21 Sektoral
Kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan UNDP, Jakarta, 2000, hlm.
11.
[4]Addinul Yakin, Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Teori
dun Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta Akademika Presindo,
Jakarta, 1997, hlm. 11.
[5]Ginandjar Kartasasmita,Administrasi
Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia,Pustaka LP3ES, Jakarta, 1997, hlm. 9.
[7]M. Saifudin, “Tanggung Jawab Konsultan AMDAL dalam Pembuatan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan”, Makalah,
Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, 2013, hlm. 1.
[8]Periksa Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
[9]Ahmadi, “Walhi Babel Soroti
Amdal Penambangan Pasir Kuasa”, http://m.antarababel.com/berita/9847/walhibabelsorotiamdalpenambanganpasirkuarsa,
diakses pada hari Jum’at tanggal 24 April 2015 pukul 21:00 wib.
[10]Periksa Pasal 3
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
[11]Haerudin R. Sadjudin,Panduan Penegakan Hukum dalam penyelamatan
Hutan, Inform (Indonesia
Forest and Media), Jakarta, hlm. 4.
[12]Emil Salim, Ratusan Bangsa
Merusak Satu Bumi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010, hlm. 45.
[13]Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 1.
[14]Eri Triana Sari, Tanggungjawab
Konsultan dalam Pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Akibat
Hukumnya (Studi Kasus di CV. Daya Cipta Mandiri), FH Universitas Semarang,
Semarang, 2009, hlm. 2.
[15]Wawancara dengan Eddu Novandaharto, Kepala Bagian AMDAL BLHD
Kabupaten Bangka Barat, tanggal 26 Juli 2016.
[16]Wawancara dengan Robi, Kepala Bagian AMDAL BLHD Kabupaten Belitung
Timur, tanggal 28 Juli 2016.
[19]Wawancara dengan Saragih, Konsultan AMDAL, tanggal 22 November 2016