Selasa, 13 Juni 2017

Perlindungan Taman Nasional Kerinci Seblat dalam Kaitannya dengan Pembangunan Berkelanjutan

A.   

PERLINDUNGAN TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Oleh:

Reko Dwi Salfutra, S.H., M.H.*


Abstract

Kerinci Seblat National Park (TNKS) is a conservation area which the rich in biodiversity that has been recognized internationally as a World Heritage Site. Based the Act Number 41 of 1999 years, that the supervision of TNKS  implemented by the government while respecting the indegineous people. However, TNKS protection is often overlooked. There are many problems in to the protection the TNKS, such as illegal logging, burning and destruction of the ecosystem in the TNKS area. Cause of that, goverment mush be to make the rule  about the protection of TNKS with the suistanable development concept.

Keywords: Protection, TNKS, government, and suistanable development.
 
A. PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai landasan konstitusional, melalui Pasal 33 ayat (3) telah mewajibkan agar penggunaan sumber daya alam dan ekosistemnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Atas dasar ketentuan tersebut, dimaksudkan bahwa pada tingkat tertinggi, bumi, air dan kekayaan alam serta seluruh kandungannya dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.[1] Penegasan terhadap konsepsi hak menguasai dari negara ini telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).


UUPA memberi wewenang kepada negara untuk :

a.    Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.   Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Konsepsi hak menguasai dari negara dalam menyelenggarakan pengaturan tersebut menurut Boedi Harsono yang mengutip dari Penjelasan Umum I UUPA dinyatakan ada 3 tujuan pokok UUPA, yaitu:

1.   Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2.   Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3.   Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Berdasarkan tujuan di atas, bahwa negara berwenang tidak cukup hanya menyelenggarakan, mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah saja, akan tetapi sampai pada perlindungan hukum hak atas tanah dengan memberikan jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanah.
Konstitusi Negara Republik Indonesia melalui Pasal 33 ayat (3) memberikan perlindungan tertinggi kepada setiap rakyat Indonesia dalam menikmati kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, termasuk untuk menikmati kekayaan alam berupa hutan, termasuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
TNKS merupakan kawasan pelestarian alam yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan fenomena alam yang khas. Beberapa lokasi di TNKS mempunyai ciri keindahan dan atraksi wisata alam yang dapat dikembangkan lebih kanjut sebagai tujuan wisata alam.
TNKS memiliki variasi elevasi mulai di bawah 300 meter dari permukaan air laut sampai 3.800 meter dari permukaan air laut dan meliputi berbagai tipe ekosistem seperti hutan dataran rendah, hutan bukit, hutan rawa, danau, rawa dataran tinggi dan hutan gunung. Sebagai akibatnya, TNKS sangat kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki banyak jenis-jenis mamalia besar dan kharismatik. Pentingnya TNKS telah diakui dunia internasional dengan ditetapkannya TNKS sebagai Situs Warisan ASEAN, bahkan telah pula ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia (world heritage site).
TNKS dengan luas kawasan hampir 1,4 juta hektar, merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Memanjang 350 km dari Barat Laut ke Tenggara dengan lebar rata-rata 50 km, TNKS terletak di empat Provinsi, yaitu “Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan serta Bengkulu dan sembilan Kabupaten serta satu Pemkot”.[2]
TNKS dinyatakan secara resmi sebagai taman nasional dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1049/Kpts-II/1992 pada tanggal 12 November 1992. Kemudian, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 192/Kpts-II/1996 menetapkan luas TNKS lebih kurang 1.368.000 hektar. Setelah diadakan penataan batas, TNKS secara resmi ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan dengan Surat Keputusan Nomor 901/Kpts-II/1999 pada bulan Oktober 1999 dengan luas 1.375.349,867 hektar. Karena itu, “Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan taman nasional pertama di Indonesia yang telah menyelesaikan semua prosedur hukum sehingga mendapat penetapan resmi”.[3]
Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya pemanfaatan sumber daya hutan, seiring dengan perkembangan zaman yang membutuhkan sumber daya alam, maka dampak yang timbul tidak selamanya baik dan bermanfaat bagi manusia, malahan dapat membahayakan kehidupan manusia, seperti halnya mengurangi kawasan hutan yang akan berakibat terjadinya longsor maupun banjir. Berkurangnya kawasan hutan seiring denga semakin banyaknya hutan yang gundul, maka pemerintah dengan program kebijakan selain menghijaukan kembali hutan yang gundul juga melindungi dan merawat sisa-sisa hutan yang masih ada.
Sebagai kawasan pelestarian alam, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menentukan tiga fungsi pokok dari TNKS, yaitu:

1.      Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia;
2.      Menjamin terpeliharanya keanekaragaman genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan;
3.      Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya.

Pada kenyataannya, upaya pemanfaatan TNKS yang berasaskan manfaat, lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan sekarang hanya tinggal mimpi. Sejarah telah membuktikan secara nyata akumulasi hasil dari pengelolaan hutan alam di Indonesia hanya menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia itu sendiri. Pengelolaan hutan selama ini telah cukup memberikan suatu referensi sebagai bahan pembelajaran, bahwa kurangnya kemandirian dan partisipasi serta kerjasama selarna ini telah menyebabkan kerusakan sumber daya alam dan ekosistemnya, ”terjadinya konflik horizontal maupun vertikal, lahirnya program manipulasi keuangan negara oleh pengusaha bertopeng yang mendapat konsesi pengelolaan kawasan hutan dan berbagai macam bentuk penjarahan hak-hak masyarakat, sehingga akan menimbulkan kemiskinan yang membelenggu rakyat”.[4]
Meskipun telah ada suatu instrumen hukum yang mengaturnya, namun masih saja terjadi perusakan maupun pencurian di dalam kawasan hutan. Telah menjadi suatu rahasia umum, para aparat maupun pejabat pemerintah menjalin kerjasama dengan pengusaha-pengusaha yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan perusakan atas hutan.
TNKS sebagai paru-paru dunia tidak lagi dimaknakan sebagai penyangga kehidupan. Degradasi kawasan TNKS terus berlanjut. Berbagai upaya penanganan seperti operasi rutin pengamanan belum juga memperlihatkan hasil yang signifikan dalam perlindungan TNKS, malahan perusakan terhadap TNKS semakin menggurita.
Mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka pengelolaan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya perlu kiranya diberi suatu instrumen hukum yang lebih jelas, tegas dan bersifat universal dalam arti kata berlaku tanpa melihat status sosial, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan negara, sehingga akan tercapai suatu kepastian hukum bagi pengelolaan tersebut dan dapat diharapkan menjamin pemanfaatan bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta peningkatan mutu kehidupan manusia Indonesia.
Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1.      Bagaimanakah perlindungan TNKS dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan?
2.      Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam perlindungan TNKS?

B.     PEMBAHASAN
1.      Perlindungan TNKS dalam Kaitannya dengan Pembangunan Berkelanjutan
Sejak gerakan reformasi pada tahun 1998 bergulir, berbagai macam kasus hukum, mulai dari kasus Hak Asasi Manusia (HAM), Pidana, Perdata sampai pada masalah Politik terus muncul silih berganti yang seakan-akan tidak pernah bisa untuk berhenti. Sebagian kasus sudah ada ketetapan hukumnya, akan tetapi yang lainnya, banyak yang masih belum jelas. Tidak mengherankan jika hukum seolah-olah menjadi barang mahal. Era reformasi sebagai masa bangkitnya Indonesia dari segala keterpurukan dan penegakan hukum hanya angan-angan belaka.
Begitu juga dalam perlindungan dan konservasi lingkungan. Semakin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan akan makin meningkat dampaknya terhadap lingkungan hidup. Keadaan ini mendorong makin diperlukannya upaya pengendalian dampak lingkungan hidup, sehingga resiko terhadap lingkungan hidup dapat ditekan sekecil mungkin.
Lingkungan hidup adalah “semua benda, daya dan kehidupan termasuk di dalamnya manusia dan tingkah lakunya yang mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.[5] Sedangkan hukum lingkungan merupakan menyangkut penetapan nilai-nilai (waardenbeoordelen), yaitu “nilai-nilai yang diharapkan berlaku di masa mendatang serta dapat disebut hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup atau dengan kata lain hukum lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahkluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenakan sanksi”.[6]
TNKS sebagai bagian dari lingkungan yang dinilai sebagai modal pembangunan daerah maupun nasional memiliki manfaat yang nyata begi kehidupan dan penghidupan bangsa dan negara Indonesia, baik manfaat ekologis, sosial budaya maupun ekonomi secara seimbang dan dinamis. Untuk itu, TNKS harus dikelola, dilindungi serta dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dari generasi ke generasi.
Upaya pengendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup itu sendiri. Suatu perangkat hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha atu kegiatan lain. Oleh karena itu, izin harus dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh penanggungjawab setiap kegiatan yang terjadi di kawasan TNKS tersebut. Dengan demikian, adanya keikutsertaan berbagai instansi dalam pengelolaan TNKS memang harus dipertegas batas wewenang tiap-tiap instansi yang ikut serta dalam pengelolaan kawasan TNKS.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 08 Tahun 2002 Tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, merumuskan prinsip dasar pelaksanaannya, yaitu bahwa pengelolaan serta pemanfaatan lingkungan hidup yang berupa seumber daya alam dan ekosistemnya harus adanya kesetaraan posisi para pihak yang terlibat maupun terkait yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan TNKS; adanya transparasi dalam pengambilan keputusan; penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana; serta adanya koordinasi, komunikasi dan kerja sama di antara pihak terkait.
Seiring dengan itu, dalam penyelenggaraan kehutanan di Indonesia harus mengacu kepada asas-asas penyelenggaraan kehutanan, sebagai berikut:

1.   Asas manfaat dan lestari; dengan asas ini dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial budaya dan ekonomi.
2.   Asas kerakyatan dan keadilan; dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh sebab itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoly dan oligopsoni.
3.   Asas kebersamaan; dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD maupun BUMS Indonesia.
4.   Asas keterbukaan; dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.
5.   Asas keterpaduan; dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sector lain dan masyarakat setempat.
6.   Asas hutan berkelanjutan (suitainable forest), yaitu suatu asas dimana setiap negara dapat mengelola secara berkelanjutan dan meningkatkan kerja sama internasional dalam pelestarian hutan dan pembangunan berkelanjutan.[7]

Jadi, pelestarian dan perlindungan kawasan TNKS yang merupakan warisan bersama umat manusia, tidak hanya masyarakat Indonesia, akan tetapi juga bagi masyarakat internasional, di dalam pengelolaan TNKS hendaknya mendayagunakan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan (suistanable development), konsep pembangunan hak-hak masyarakat (the right to development) pada umumnya dan konsep pembangunan manusia seutuhnya (human development) pada khususnya untuk mendorong kemajuan di dalam pengelolaan TNKS menuju lebih baik.
Demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara hukum dan demokrasi yang selaras dengan cita-cita dan tujuan reformasi, maka pemerintah hendaknya dapat bertindak secara ideal, yaitu harus sesuai dengan apa yang telah hukum tetapkan, sehingga tegaknya hukum dan kepastian hukum dalam menuju kepada keadilan hukum akan dapat dirasakan oleh rakyat.
Menjamin adanya suatu kepastian hukum merupakan upaya melindungi berdasarkan ketentuan umum yang wujudnya ketenteraman, ketertiban, kedamaian dan kesejahteraan yang merupakan fungsi Negara sebagai organisasi pemegang kedaulatan rakyat. Dengan kekuasaan yang diberikan kepada negara, dalam hal ini yang dilindungi adalah subjek hukum yang membawa hak dan kewajiban.
TNKS dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya keterttiban di dalam masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi dan terjamin. Dalam mencapai tujuannnya itu, “hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum”.[8]

2.      Kendala yang Dihadapi
Berbagai bentuk konflik terjadi dalam kawasan TNKS, mulai dari penebangan, perambahan hingga permasalahan batas dari kawasan TNKS itu sendiri, ditambah lagi adanya konflik antara penguasaan negara dengan pengakuan hak milik perorangan dan persekutuan hukum adat atas tanah yang berada di dalam kawasan TNKS itu sendiri; yang menjadi masalah sekarang, seringkali terjebak pada dua realitas yang menegangkan. Masalah kebijakan dan kepastian hukum pengelolaan TNKS adalah suatu realita yang dipenuhi intrik.
Sementara realita TNKS menyangkut masyarakat di sekitar kawasan tersebut yang hanya bisa termangu menyaksikan kawasan yang menjadi milik mereka dulunya yang semakin menipis tanpa sempat mengolahnya.
Realitas TNKS adalah suatu ruang dimana masyarakat butuh kesempatan untuk mengolah. Di sisi lain, realitas TNKS kerap menjadi suatu kebijakan yang menghancurkan cita-cita masyarakat miskin sekitar kawasan TNKS. Sesungguhnya antara realitas tersebut ada dikotomi yang menegangkan sekaligus perlu dijodohkan demi kepentingan masyarakat dan negara.
Namun demikian, sekiranya perlu disadari bahwa bukan menjadi opini lagi, jika akibat penebangan pohon di kawasan hutan di seluruh wilayah Indonesia adalah penyebab terjadinya bencana banjir dan tanah longsr yang sudah menelan ribuan jiwa. Belum terhitung kerusakan pemukiman penduduk berupa hancurnya ribuan rumah, sarana maupun prasarana lainnya. Semuanya telah menyesengsarakan rakyat Indonesia itu sendiri. Penebangan pohon secara liar atau sering disebut pembalakkan liar atau illegal logging, juga penebangan pohon yang mengantongi izin resmi hak pengusahaan hutan sama saja. Penebangan pohon, baik liar maupun resmi merupakan kegiatan yang berpotensi merusak hutan. Keduanya adalah penyebab bencana, karena yang memiliki izin tersebut pun tidak pernah memikirkan penanaman kembali atau reboisasi. Semuanya dibiarkan gundul, tidak ada yang peduli atas kerusakan hutan. Padahal ancaman hukuman berat dan denda tinggi sudah diterapkan bagi pembalakan liar, namun sepertinya para perusak hutan dan pencuri kayu tidak pernah jera, bahkan izin pemanfaatan untuk 100 hektar digunakan ribuan hektar. Kerusakan TNKS tersebut diperparah lagi oleh kebutuhan lahan untuk pertanian dikalangan penduduk cukup tinggi. Selain menggunakan lahan di sekitar kawasan taman, penduduk juga melakukan aktivitas pertanian di dalam taman. Dari 371 desa di sekitar kawasan taman, 270 desa di empat provinsi memiliki pemukiman dekat batas taman. Penduduk dari desa-desa ini, “sering menggarap lahan di dalam taman dan mengambil hasil taman itu sendiri. Jumlah lahan yang telah dibuka di kawasan TNKS mencapai 105.000 hektar”.[9]
Semua masalah yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan TNKS dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1.      Ancaman terhadap keutuhan taman; merupakan suatu bentuk ancaman yang mengancam secara langsung terhadap keanekaragaman TNKS itu sendiri, seperti adanya kegiatan prambahan, penebangan liar, perburuan liar, pertambangan dan pembangunan jalan.
2.      Kendala institusi; seperti sedikitnya tenaga pengelola TNKS dan kurang efektifnya program komunikasi, informasi dan promosi dari TNKS.
3.      Kurangnya keterpaduan pihak terkait sebagai akibat dari tidak adanya batas kewenangan yang jelas, sehingga dengan sendirinya akan menghambat proses penegakan hukum terhadap perusakan TNKS itu sendiri.

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Upaya perlindungan TNKS merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan; mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas TNKS; dan mengefektifkan pemberlakuan peraturan perundang-undangan sehingga pengelolaan TNKS untuk kedepannya dilakukan dengan adil, arif dan bijaksana.
b.      Adapun kendala-kendala yang dihadapi dalam perlindungan TNKS dapat berupa ancaman terhadap keutuhan taman, kendala institusi dan keterpaduan di antara pihak yang terkait.

2.      Saran
a.       Pelestarian dan perlindungan TNKS harus mendayagunakan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan (suistanable development), konsep pembangunan hak-hak masyarakat (the right to development) pada umumnya dan konsep pembangunan manusia seutuhnya (human development) pada khususnya.
b.      Dilakukannya pembatasan kewenangan pihak yang terkait dengan TNKS sehingga akan tercapainya koordinasi yang baik di antara pihak yang terkait serta pemberlakuan operasi langsung ke kawasan TNKS, baik razia maupun patroli rutin dari aparat penegak hukum. Dengan demikian, penekanan dilakukan pada tataran penegakan hukum. Semua aktifitas yang merusak dan menganggu ekosistem TNKS harus ditindak sebagaimana peraturan yang berlaku.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan Republik Indonesia Dirjend Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kerinci Integreted Conservation and Development Project (KS-ICDP) bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNKS). 2002. Taman Nasional Kerinci Seblat:Kerangka Kerja Pengelolaan 2002-2006. BTNKS. Sungai Penuh.

Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Cetakan Kelima. Edisi Pertama. Kencana, Jakarta.

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888).

Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Sahuri Lasmadi. 2009. Bahan Ajar Hukum Lingkungan Lanjutan. Program Megister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi. Jambi.

Salim H.S. 2002. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi. Sinar Grafika. Jakarta.

Soejono Soekanto. 1998. Teori Sosiologi, Tentang Pribadi dalam Masyarakat Ghalia Indonesia. Jakarta.

Sudikno Mertokusumo. 2007. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta.

Yuzirwan Rasyid. 2002. Hak Property Masyarakat Adat Minang Kabau atas Sumber Daya Hutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat adat tanggal 7 Mei 2002, yang diselenggarakan dalam Konsersium Studi Pengembangan Pengelolaan Hutan Adat di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat.





*Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung.
[1]Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi dasar munculnya Hak Menguasai Negara.
[2]Departemen Kehutanan Republik Indonesia Dirjend Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kerinci Integreted Conservation and Development Project (KS-ICDP) bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNKS), Taman Nasional Kerinci Seblat:Kerangka Kerja Pengelolaan 2002-2006, BTNKS, Sungai Penuh, 2002, hal. 1.
[3]Ibid.
[4]Yuzirwan Rasyid. Hak Property Masyarakat Adat Minang Kabau atas Sumber Daya Hutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat adat tanggal 7 Mei 2002, yang diselenggarakan dalam Konsersium Studi Pengembangan Pengelolaan Hutan Adat di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi.
[5]Sahuri Lasmadi, Bahan Ajar Hukum Lingkungan Lanjutan, Program Megister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi, 2010, hal. 1.
[6]Ibid., hal. 4.
[7]Salim H.S., Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 8-11.
[8]Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal. 77.
[9]Departemen Kehutanan, Op. Cit.,  hal. 10.

Minggu, 15 Januari 2017

TANGGUNG JAWAB KONSULTAN DALAM PEMBUATAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL) DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Oleh: Yokotani, S.H., M.H., Reko Dwi Salfutra, S.H., M.H., dan Wirazilmustaan, S.H., M.H.*

A.    PENDAHULUAN
Pancasila[1] merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh yang memberikan keyakinan dan kepercayaan kepada masyarakat Indonesia, bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai, jika didasarkan atas keselarasan, keserasian dan keseimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk ciptaan-Nya, maupun manusia dengan alam dan manusia sebagai pribadi (personal) dalam rangka mencapai suatu kemajuan lahir maupun kebahagiaan batin. Antara manusia, masyarakat dan lingkungan terdapat hubungan timbal balik yang selalu harus dibina dan dikembangkan agar dapat tetap dalam keselarasan, keserasian dan keseimbangan yang dinamis.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional melalui ketentuan Pasal 33 ayat (3) telah mewajibkan agar penggunaan sumber daya alam dan ekosistemnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konstitusi Negara Republik Indonesia tersebut memberikan perlindungan tertinggi kepada setiap rakyat Indonesia dalam menikmati kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam berupa lingkungan hidup seiring dengan perkembangan zaman yang membutuhkan sumber daya alam dalam artian pembangunan, maka dampak yang timbul tidak selamanya baik dan bermanfaat bagi manusia, malahan dapat membahayakan kehidupan manusia. Pembangunan memanfaatkan secara terus-menerus sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam sangat terbatas dan tidak merata, baik dalam segi kuantitas maupun dalam segi kualitasnya, sedangkan permintaan akan sumber daya alam tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang meningkat dan beragam.
Memasuki era globalisasi yang penuh ketidakpastian telah merubah lingkungan yang tenang, mudah diramalkan dan sederhana menjadi bergejolak, sukar diramalkan dan kompleks. Untuk menghadapi globalisasi tersebut, diperlukan kemandirian dan partisipasi serta kerja sama. Seiring dengan perkembangan pembangunan, konsep pembangunan yang dibutuhkan untuk menghadapi globalisasi di dalam upaya perlindungan kawasan lingkungan hidup adalah ”pembangunan yang tidak mempertentangkan pertumbuhan dan pemerataan atau konsep yang bertumpu pada pemberdayaan dan partisipasi masyarakat atau yang sering disebut dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)”.[2] Di dalam konsep ini, ”masyarakat memiliki hak untuk berpasrtisipasi dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan kontrol”.[3]
Sesuai dengan itu, menurut Addinul Yakin menyatakan, bahwa ”proses pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan sering bertentangan dengan prinsip pelestarian dan perlindungan lingkungan, sehingga sering dikatakan bahwa antara pembangunan dan lingkungan terkesan kontradiktif”.[4] Tetapi hal ini tidaklah selalu benar, karena dua kepentingan ini bisa saling berinteraksi atau diintegrasikan, sehingga kepentingan pembangunan dan lingkungan bisa sama-sama tercapai. Akibat kuatnya saling interaksi dan ketergantungan antara dua faktor tersebut, diperlukan pendekatan yang cocok bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development). Sesuai dengan itu, menurut Ginandjar Kartasasmita menyatakan, bahwa ”dalam kata pembangunan, hal yang sangat pokok yaitu adanya hakikat membangun, yang berlawanan dengan merusak”.[5] Oleh karena itu, perubahan ke arah keadaan yang lebih baik seperti yang diinginkan dan dengan upaya yang terencana, harus dilakukan melalui jalan yang tidak merusak, tetapi justru mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada.
Penyelenggaraan pengelolaan kawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan pelestarian lingkungan termasuk ekosistemnya harus didasarkan kepada instrumen hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global,karena unsur-unsur sumber daya hayati dan ekosistemnya saling bergantung antara satu dengan lainnya, dan pemanfaatannya akan saling mempengaruhi, sehingga “kerusakan dan kepunahan salah satu daripadanya akan berakibat terganggunya ekosistem, maka diperlukan suatu pengaturan pemanfaatannya dan perlindungan ekosistemnya”.[6]
Oleh sebab itu, dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan seiring dengan pembangun di bidang lingkungan harus adanya langkah sinergis dan strategis. Adapun salah satu langkah stategis yang dapat dilakukan tersebut adalah “dengan adanya pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)”.[7] Dengan adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terhadap suatu proses pembangunan, maka diharapkan dapat meminimalisirkan dampak dari kerusakan lingkungan dari setiap tindakan pembangunan itu sendiri.
Ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menentukan, bahwa:

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.[8]

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa secara yuridis, analisis mengenai dampak lingkungan dibutuhkan hanya terhadap kegiatan pembangunan yang berdampak penting. Akan tetapi, formulasi hukum tidak secara jelas memberikan batas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentang apa yang merupakan dampak yang penting. Secara yuridis, hanya menyatakan dampak penting itu berupa perubahan lingkungan, yaitu yang sangat mendasar bersumber dari suatu kegiatan.
Sehubungan dengan itu, berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup menentukan, bahwa lembaga penyedia jasa penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah badan hukum yang bergerak dalam bidang jasa penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Setiap penyedia jasa pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yaitu konsultan hukum dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak boleh membuat suatu dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, bahwa setiap konsultan hukum memiliki peranan yang sangat strategis dalam pembuatan suatu dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Oleh sebab itu, secara yuridis setiap konsultan hukum memiliki tanggung jawab atas semua keterangan yang diberikan dalam pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Akan tetapi, dalam realita sehari-hari, keterangan dari konsultan hukum yang membuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seringkali melenceng dari apa yang telah diprediksikannya dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sehingga, suatu kegiatan pembangunan yang sebenarnya telah dibuatkannya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang berfungsi untuk meminimalisirkan potensi terjadinya pencemaran terhadap lingkungan, malah dalam realitanya sangat kontradiktif. Permasalahan mengenai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) ini pun terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, salah satunya terjadi di Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, di mana masyarakat mempertanyakan pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dilakukan oleh konsultan, karena “masyarakat di daerah tersebut merasa tidak dilibatkan di dalam perumusannya”.[9] Bahkan, konsultan hukum yang membuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seakan lari dari tanggung jawab atas terjadinya suatu pencemaran lingkungan akibat suatu kegiatan pembangunan yang telah ia buat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungannya.
7
 
Oleh sebab itu, diperlukan suatu bentuk peran aktif dari pemerintah untuk mengantisipasi setiap permasalahan hukum di atas. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menentukan, bahwa:

a.    melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b.    menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c.    menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d.   menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e.    mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f.     menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g.    menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h.    mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i.      mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j.      mengantisipasi isu lingkungan global.[10]

Penegakan hukum harus dijalankan berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku. Dasar hukum digunakan sebagai ”rujukan dan alasan mengapa dan bagaimana suatu pelanggaran telah terjadi”,[11] sehingga akan diketahui jalur hukum serta prosedur yang akan dilalui di dalam penegakan hukum sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ke depan yang lebih terarah dan lebih baik.
Dari latar belakang diatas dapat  dibuat beberapa rumusan masalah yaitu
1.      Bagaimana pengaturan tanggung jawab konsultan dalam pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan dalam perspektif peraturan perundang-undangan di Indonesia?
2.      Bagaimana implementasi tanggung jawab konsultan dalam pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengaturan Tanggung Jawab Konsultan dalam Pembuatan AMDAL
Lingkungan hidup merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, di mana didalamnya manusia menjalankan berbagai aktifitas, berinteraksi dengan komponen-komponen lain yang ada guna mempertahankan kelangsungan hidupnya. Semula, lingkungan hidup tersebut merupakan lingkungan yang memang sudah ada secara ilmiah, akan tetapi dalam perkembangannya manusia melakukan berbagai macam perubahan sehingga menimbulkan kondisi lingkungan yang baru. Kemampuan manusia untuk merubah lingkungan dan menimbulkan hal-hal baru tersebut turut mempengaruhi keseimbangan lingkungan hidup. Apabila keseimbangan lingkungan tersebut terganggu, dikhawatirkan akan menimbulkan reaksi balik dari lingkungan yang kemudian dapat menimbulkan bencana.
Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam. Hal ini merupakan salah satu modal untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, sumber daya alam adalah sesuatu yang terbatas, sementara pertumbuhan penduduk yang membutuhkan ketersediaan lingkungan tidak sebanding dengan ketersediaan lingkungan itu sendiri.
Sepanjang manusia berusaha berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan tidak memikirkan cara untuk menjaga keselamatan dan keseimbangan lingkungan hidup, maka permasalahan lingkungan hidup akan terus muncul dan membahayakan. Apabila proses pencemaran lingkungan hidup tersebut dibiarkan secara terus menerus akan mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi semua pihak. Salah satu kebutuhan manusia yang pemenuhannya bersinggungan dengan lingkungan hidup adalah kebutuhan ekonomi. Sebagai bentuk upaya untuk memenuhi kebutuhan ini, masyarakat melakukan berbagai macam kegiatan, termasuk mendirikan ins=dustri-industri yang mengolah sumber daya alam sebagai bahan baku.
Pendirian industri diawali dengan pembukaan lahan yang merupakan kawasan lingkungan untuk dijadikan wilayah industri dan wilayah budidaya tanaman tertentu. Dalam proses pembukaan lahan seringkali menimbulkan perubahan terhadap kondisi ideal lingkungan, bahkan dalam operasionalnya industri yang didirikan juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, seperti pencemaran lingkungan karena limbah buangannya.
Oleh sebab itu, dalam upaya menekan atau meminimalkan dampak negatif akibat kegiatan yang mungkin terjadi terhadap lingkungan sebagai bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka diperlukan suatu bentuk pembinaan bagi setiap kegiatan yang menyangkut ekploitasi sumber daya alam dan berpotensi untuk menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup agar penurunan akibat eksploitasi diimbangi dengan pemeliharaan lingkungan itu sendiri serta diperlukan suatu bentuk kajian yang baik dan benar tentang dampak-dampak yang mungkin dapat diminimalkan akibat aktivitas eksploitasi sumber daya alam tersebut.
Menurut Emil Salim menyatakan, bahwa “adapun perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut memiliki ruang lingkup mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum”.[12] Dengan demikian, konsep pembangunan yang berkelanjutan terhadap pengelolaan lingkungan hidup dapat dilaksanakan sebagaimana amanatk ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menentukan bahwa:

Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dipahami bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan upaya sadar dan terencana dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk mencapai tujuan pembangunan, yakni meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pembangunan tersebut dari masa ke masa terus berlanjut dan berkesinambungan serta selalu ditingkatkan pelaksanaannya, sehingga pada akhirnya dapat berguna dalam memenuhi dan meningkatkan kebutuhan penduduk.
Pelaksanaan pembangunan sebagai kegiatan yang berkesinambungan dan selalu meningkat seiring dengan baik dan meningkatnya jumlah dan kebutuhan penduduk, menarik serta mengundang resiko pencemaran dan perusakan yang disebabkan oleh tekanan kebutuhan pembangunan terhadap sumber daya alam, tekanan yang semakin besar tersebut ada dan dapat mengganggu, merusak struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan.
Sebagai bentuk upaya dalam rangka mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam dengan maksud agar lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara keberadaan dan kemampuan dalam mendukung berlanjutnya pembangunan, maka setiap aktivitas pembangunan haruslah dilandasi oleh dasar-dasar pertimbangan pelestarian dan perlindungan akan sumber daya alam itu sendiri.
Sesuai dengan itu, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai salah satu daerah pemekaran dengan sejumlah industri yang ada, terutama yang menyangkut masalah pertambangan, harus mampu untuk membangun daerahnya ke arah yang lebih baik dengan tetap mempertahankan kondisi lingkungan yang baik. Namun demikian, dalam perjalanan pembangunan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tersebut, terdapat permasalahan-permasalahan yang harus ditangani secara benar sesuai apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, seperti pembuatan terhadap dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diharapkan dapat menjadi kajian yang komprehensif dalam rangka meminimalkan dampak-dampak dari suatu kegiatan pembangunan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ditentukan bahwa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah “kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan”. Sesuai dengan itu, menurut Daud Silalahi menyatakan, bahwa:

Keinginan untuk mempengaruhi pengaruh negatif dan resiko pada tingkat yang mungkin (Risk Assesment) dan mengelola resikonya (Risk Management) melalui mekanisme dan sistem hukum lingkungan dalam apa yang disebut sebagai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)”.[13]

Atas dasar pemikiran di atas, dipahami bahwa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan suatu bentuk dokumen analisis yang sangat penting untuk disusun sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya lingkungan hidup, seperti:

1.      Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) akan membantu memberikan uraian keterkaitan perundang-undangan dan pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan undang-undang atau ketentuan hukum sektoral untuk memperoleh persamaan persepsi dan penafsiran atas hukum yang mengatur pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dilihat dari penyusunan, penilaian, dan pengambilan keputusan.
2.      Pengaruh dari kualifikasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh perangkat aparatur pemerintah yang memiliki kriteria keahlian khusus dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai penanggung jawab utama. Status AMDAL dalam proses pengambilan keputusan sebagai Significant Agency Expertise yang memegang yurisdiksi kewenangan dan merupakan ruang lingkupnya yang lebih utama dalam masalah hukum yang timbul di kemudian hari.[14]

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk menciptakan suatu pembangunan yang berkesinambungan, faktor lingkungan hidup menjadi perhatian yang utama. Oleh karena itu pembangunan yang memungkinkan timbulnya dampak penting terhadap lingkungan harus dibuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kewajiban membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan didasarkan pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menentukan, bahwa “setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan”.
Dampak penting di sini yang dimaksud adalah dampak yang terjadi setelah pembangunan berjalan, tugas Konsultan membuat analisa sehingga dampak tersebut dapat diprediksi untuk selanjutnya ditemukan solusi sebagai bentuk upaya antisipasi. Sedangkan dampak penting di sini adalah dampak yang terjadi setelah pembangunan, di mana penanganannya dengan cara konsultan membuat analisa terhadap dampak tersebut, sehingga tidak merusak tatanan dari suatu kawasan lingkungan.
Sesuai dengan itu, ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut di atas, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Peraturan Pemerintah ini merupakan tonggak sejarah yang amat penting dalam rangka pembangunan berwawasan lingkungan.
Pada pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), apabila Pemrakarsa merasa tidak mampu membuat sendiri, maka diperlukan kerjasama antara Pemrakarsa dengan badan hukum Konsultan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang menentukan, bahwa:

Dalam penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemrakarsa dapat meminta bantuan kepada lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah mendapatkan tanda registrasi kompetensi.

Berdasarkan ketentuan di atas, diketahui bahwa tanggung jawab Konsultan diperlukan dalam pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Semua proyek atau pembangunan dalam suatu lingkungan hidup dianalisis, yang diharapkan agar setiap kegiatan pembangunan tidak berdampak buruk pada lingkungan. Oleh sebab itu, melalui ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menentukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi bagi konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menentukan, bahwa “penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memiliki sertifikat Kompentensi”. Lebih lanjut, dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menentukan, bahwa:

Lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) wajib memenuhi persyaratan:
a.       berbadan hukum;
b.      memiliki paling sedikit 2 (dua) orang tenaga tetap penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memiliki sertifikat kompetensi dengan kualifikasi ketua tim penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
c.       memiliki perjanjian kerja dengan tenaga tidak tetap penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan seluruh personil yang terlibat dalam penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk dalam hal ketidakberpihakan;
d.      memiliki sistem manajemen mutu; dan
e.       melaksanakan pengendalian mutu internal terhadap pelaksanaanpenyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), termasuk menjaga prinsip ketidakberpihakan dan/atau menghindari konflik kepentingan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dipahami bahwa Konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bertanggung jawab atas semua data yang dibuatnya. Data yang dibuatnya tersebut adalah hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang laporannya berbentuk dokumen AMDAL. Oleh karena itu, seorang Konsultan tidak boleh menyimpang dari ketentuan di atas.
Sehubungan dengan itu, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai tanggung jawab ini diatur dalam Pasal 1801 dan Pasal 1803 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1801 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, bahwa “Si kuasa tidak saja bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tapi juga tentang kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya. Akan tetapi, tanggung jawab tentang kelalaian bagi seseorang yang dengan cuma-cuma menerima kuasa adalah tidak begitu berat, seperti yang dapat diminta dari seseorang yang untuk itu menerima upah”. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1803 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, bahwa:

Penerima kuasa bertanggungjawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinyadalam melaksanakan kuasanya:
1.      bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
2.      bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu. Pemberi kuasa senantiasa dianggap telah memberi kuasa kepada penerima kuasanya untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa. Pemberi kuasa dalam segala hal, dapat secara langsung mengajukan tuntutan kepada orang yang telah ditunjuk oleh penerima kuasa sebagai penggantinya.

2.      Implementasi Tanggung Jawab Konsultan dalam Pembuatan AMDAL di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Salah satu pihak yang berjasa dan bertanggungjawab dalam penyusunan laporan  dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah konsultan. Dokumen yang telah disusun tersebut memuat kajian mengenai dampak penting dalam suatu usaha yang direncanakan pada lingkungan hidup untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan usaha tersebut.
Setiap perusahaan sebagai pemrakarsa haruslah tidak sembarangan memilih konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atas usaha atau kegiatan yang akan dilakukannya. Di lain sisi, konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga harus memenuhi syarat-syarat ataupun standar tertentu sebagai konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, pada tahun 2010, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang menentukan, bahwa:

Lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) wajib memenuhi persyaratan:
a.       berbadan hukum;
b.      memiliki paling sedikit 2 (dua) orang tenaga tetap penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memiliki sertifikat kompetensi dengan kualifikasi ketua tim penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
c.       memiliki perjanjian kerja dengan tenaga tidak tetap penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan seluruh personil yang terlibat dalam penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk dalam hal ketidakberpihakan;
d.      memiliki sistem manajemen mutu; dan
e.       melaksanakan pengendalian mutu internal terhadap pelaksanaanpenyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), termasuk menjaga prinsip ketidakberpihakan dan/atau menghindari konflik kepentingan.

Adapun syarat tersebut harus dipenuhi bagi setiap konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), baik dalam pengertian konsultan yang berbentuk badan hukum maupun dalam bentuk perseorangan. Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut di atas, maka setiap pemrakarsa dapat menggunakan jasa dari konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan cara mengeluarkan surat perintah kerja dalam pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Setelah pernyataan surat perintah kerja dari pihak Pemrakarsa kepada pihak konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) beserta syarat-syarat lainnya, kemudian dilanjutkan pelaksanaan tugas-tugas yang harus dikerjakan bagi setiap konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Tugas-tugas Konsultan meliputi tugas pokok, tugas yang diperjanjikan, dan tugas yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, menurut Eddu Novandaharto menyatakan bahwa secara umum terdapat kewajiban-kewajiban dan hak-hak konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sebagai berikut:

a.       Kewajiban-kewajiban konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yaitu:
(1)   Melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
(2)   Melaporkan pelaksanaan pekerjaan secara periodik kepada Pemrakarsa;
(3)   Menyelesaikan dan menyerahkan pekerjaan sesuai dengan ketentuan;
(4)   Menjaga keselamatan para pekerja dan menanggung segala resiko keselamatan kerja yang timbul selama pelaksanaan pekerjaan;
(5)   Menjaga ketertiban lingkungan dalam pelaksanaan pekerjaan
(6)   Memelihara bangunan selama 3 bulan setelah bangunan diserahkan kepada Pemrakarsa sesuai Berita Acara Serah Terima;
(7)   Wajib mengasuransikan bangunan dari bahaya, seperti: kebakaran, huru-hara dan bencana alam, sampai dengan 3 bulan setelah bangunan diserahkan oleh pihak Pemrakarsa;
(8)   Apabila Konsultan lalai atau dengan sengaja tidak mengasuransikan bangunan dan terjadi suatu resiko seperti: kebakaran, huru-hara dan bencana alam, maka pembangunan kembali menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan penuh oleh Konsultan.
b.      Hak-hak pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yaitu:
(1)   Berhak mendapatkan data-data yang diperlukan dari dinas-dinas yang terkait;
(2)   Berhak mendapatkan informasi dan keterangan dari pihak-pihak yang berkepentingan;
(3)   Menerima pembayaran atas pekerjaan yang telah diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang disepakati;
(4)   Dilarang menyerahkan pelaksanaan pekerjaan, baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain tanpa sepengetahuan Pemrakarsa.[15]

           Selain kewajiban-kewajiban tersebut di atas, berdasarkan hasil wawancara dengan Robi menyatakan, bahwa:

Dalam pelaksanaannya konsultan pembuat dokumenAnalisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga memiliki kewajiban, yaitu:
(1)   Konsultan harus mengawasi kemajuan pelaksanaan dan mengambil keputusan yang tepat dan cepat agar batas waktu pelaksanaan minimal sesuai dengan jadwal yang ditentukan.
(2)   Memberikan masukan pendapat teknis tentang penambahan atau pengurangan kegiatan yang dapat mempengaruhi biaya dan waktu pekerjaan serta berpengaruh pada ketentuan kontrak.
(3)   Memberikan petunjuk, perintah sejauh tidak mengenal pengurangan dan penambahan biaya dan waktu pekerjaan serta tidak menyimpang dalam kontrak.[16]

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara diketahui bahwa konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam melaksanakan tugas-tugasnya sudah sesuai dengan tugas pokoknya dan sesuai dengan ketentuan yang telah diperjanjikan antar pihak, yaitu antara konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan pihak pemrakarsa. Namun tugas-tugas yang ada dalam peraturan perundang-undangan tidak seluruhnya dilaksanakan oleh konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ada kewajiban-kewajiban yang masih menjadi tanggung jawab konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), akan tetapi tidak dilaksanakan. Menurut Robi menyatakan, bahwa:

Adapun kewajiban-kewajiban tersebut, antara lain: terkait dengan para pekerja, seperti: menjaga keselamatan dan menanggung resiko mereka dalam melaksanakan tugas, serta pemeliharaan bangunan pasca penyusunan atau pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).[17]

   Lebih lanjut, menurut Robi menyatakan, bahwa “hal tersebut terjadi sebagai akibat dari ketidakjelasan perjanjian yang dibuat diawal oleh pemrakarsa dan konsultan pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)”.[18] Sebagai akibat dari awal perjanjian pihak Pemrakarsa kurang teliti, maka segala hal yang terjadi setelah pasca dikeluarkannya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dalam bentuk izin usaha menjadi tanggung jawab pihak pemrakarsa. Sesuai dengan itu, menurut Saragih menyatakan, bahwa:

Konsultan AMDAL tidak memiliki kewenangan dan tidak bertanggung jawab terhadap dokumen AMDAL yang merupakan prediksi atas suatu kegiatan usaha yang telah dibuatnya apabila dokumen tersebut telah disetujui dan diterbitkan izin usaha oleh pemerintah. Jika terjadi pencemaran, yang memiliki tanggung jawab adalah pemrakarsa atau pemerintah yang telah menerbitkan izin usaha tersebut.[19]

Hal ini tentu akan membawa kerugian dari pihak pemrakarsa, sebab dengan menggunakan jasa konsultan pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), diharapkan dapat meminimalkan resiko kegiatan usaha, namun setelah kegiatan dilaksanakan, semua resiko yang telah diprediksi timbul menjadi permasalahan yang bersentuhan dengan lingkungan. Padahal, konsultan pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan pihak yang ikut dalam perencanaan atas suatu kegiatan, sehingga sewajarnya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum apabila terjadi pencemaran lingkungan atas suatu kegiatan.
Berdasarkan hasil data yang diperoleh, diketahui bahwa pelaksanaan tanggung jawab konsultan pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung hanya terbatas pada isi perjanjian. Pelaksanaan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak semua dilaksanakan pihak konsultan pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), seperti pengawasan pasca dikeluarkannya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Secara yuridis, konsultan pembuat dokumenAnalisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Hal ini sesuai dengan prinsip strict liability, yang artinya apabila pencemar atau perusak tersebut adalah konsultan pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), maka konsultan pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terbukti lalai dalam hasil kajian tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga ia masih memiliki tanggung jawab.

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.    Tanggungjawab konsultan dalam pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang menentukan, bahwa konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bertanggung jawab atas semua data yang dibuatnya. Data yang dibuatnya tersebut adalah hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang laporannya berbentuk dokumen AMDAL.
b.    Konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bertanggungjawab atas segala pembuatan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) perusahaan (pemrakarsa) yang menunjuknya. Tanggungjawab konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) akan selesai sampai batas perjanjian dengan perusahaan pemrakarsa yang menunjuknya, yaitu ketika dokumen itu telah disetujui oleh pemerintah dalam bentuk telah dinilai oleh Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

2.      Saran
a.       Perlunya optimalisasi dari penegakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, sehingga diharapkan pengaturan mengenai tanggungjawab konsultan pembuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dapat lebih baik;
b.      Perlunya pengaturan yang lebih tegas, jelas dan komprehensif mengenai tanggungjawab dari konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga konsultan pembuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak hanya bertanggungjawab atas penyusunan, tetapi juga bertanggungjawab apabila terjadi pencemaran terhadap lingkungan.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Addinul Yakin. 1997. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Teori dun Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta Akademika Presindo. Jakarta.

Ahmadi. “Walhi Babel Soroti Amdal Penambangan Pasir Kuarsa”. http://m.antarababel.com/berita/9847/walhibabelsorotiamdalpenambangan pasirkuarsa. Diakses pada hari Jum’at tanggal 24 April 2015 pukul 21:00 wib.

Agenda 21 Sektoral. 2000. Agenda ENERGI Untuk Pembangunan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Proyek Agenda 21 Sektoral Kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan UNDP. Jakarta.

Andi Hamzah. 1986. Kamus Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

A. Sonny Keraf. 2006. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Bahder Johan Nasution. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum.Cetakan Pertama. CV. Mandar Maju. Bandung.

Daud Silalahi. 2001.Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni. Bandung.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Emil Salim. 2010.Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Eri Triana Sari. 2009.Tanggungjawab Konsultan dalam Pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di CV. Daya Cipta Mandiri). FH Universitas Semarang. Semarang.

Ginandjar Kartasasmita. 1997. Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. Pustaka LP3ES. Jakarta.

Haerudin R. Sadjudin. Panduan Penegakan Hukum dalam penyelamatan Hutan. Inform (Indonesia Forest and Media). Jakarta.

Helmi. 2012. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup. Sinar Grafika. Jakarta.

Magister Ilmu Hukum. 2008. Pedoman Tesis Magister Ilmu Hukum. Program Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi. Jambi.

M. Saifudin. 2013. “Tanggung Jawab Konsultan AMDAL dalam Pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan”. Makalah. Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.

Sahuri Lasmadi. 2009. Bahan Ajar Hukum Lingkungan Lanjutan. Program Megister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi. Jambi.

Salim, H.S. Dasar-Dasar Hukum Keluitanan. Edisi Revisi. Sinar Grafika. Jakarta.

Zaenal Bahri. 1993. Kamus Umum: Khusus Bidang Hukum dan Politik. Angkasa. Bandung.




*Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung.
[1]Pancasila sebagai dasar, ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia (Staatfundamental Norm).
[2]Agenda 21 Sektoral,Agenda ENERGI Untuk Pembangunan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan,Proyek Agenda 21 Sektoral Kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan UNDP, Jakarta, 2000, hlm. 11.
[3]Ibid., hlm. 146.
[4]Addinul Yakin, Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Teori dun Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta Akademika Presindo, Jakarta, 1997, hlm. 11.
[5]Ginandjar Kartasasmita,Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia,Pustaka LP3ES, Jakarta, 1997, hlm. 9.
[6]Salim, H.S.,Dasar-Dasar Hukum Keluitanan, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.8-11.
[7]M. Saifudin, “Tanggung Jawab Konsultan AMDAL dalam Pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan”, Makalah, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, 2013, hlm. 1.
[8]Periksa Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
[9]Ahmadi, “Walhi Babel Soroti Amdal Penambangan Pasir Kuasa”, http://m.antarababel.com/berita/9847/walhibabelsorotiamdalpenambanganpasirkuarsa, diakses pada hari Jum’at tanggal 24 April 2015 pukul 21:00 wib.
[10]Periksa Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
[11]Haerudin R. Sadjudin,Panduan Penegakan Hukum dalam penyelamatan Hutan, Inform (Indonesia Forest and Media), Jakarta, hlm. 4.
[12]Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010, hlm. 45.
[13]Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 1.
[14]Eri Triana Sari, Tanggungjawab Konsultan dalam Pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di CV. Daya Cipta Mandiri), FH Universitas Semarang, Semarang, 2009, hlm. 2.
[15]Wawancara dengan Eddu Novandaharto, Kepala Bagian AMDAL BLHD Kabupaten Bangka Barat, tanggal 26 Juli 2016.
[16]Wawancara dengan Robi, Kepala Bagian AMDAL BLHD Kabupaten Belitung Timur, tanggal 28 Juli 2016.
[17]Ibid.
[18]Ibid.
[19]Wawancara dengan Saragih, Konsultan AMDAL, tanggal 22 November 2016