Sabtu, 28 Juli 2012

MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA


MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Oleh:
REKO DWI SALFUTRA, S.H.,M.H.
Sekretaris Lembaga Mediasi Provinsi Jambi

         Indonesia dalam masa sekarang ini masih dalam tahap pembangunan, di mana pembangunan yang dijalankan pada masa sekarang jauh berkembang dibandingkan masa dahulu, khususnya masa sebelum kemerdekaan.  Salah satu perkembangan pembangunan yang sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah perkembangan dalam kegiatan bisnis yang pesat dan modern.
         Perkembangan kegiatan bisnis di Propinsi Jambi juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan jumlah perusahaan dalam skala besar yang pada saat ini telah mencapai lebih dari 707 (tujuh ratus tujuh) perusahaan,[1] mulai dari perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan, pertambangan batu bara dan perkebunan. Dari kenyataan yang kompleks seiring dengan modernisasi itulah yang menyebabkan timbulnya hubungan hukum di antara manusia yang semakin modern pula. Lahirnya suatu hubungan hukum di antara manusia untuk berinteraksi satu sama lainnya menjadi sesuatu proses yang tidak dapat dihindari yang tentunya pula dengan semakin kompleks perkembangan bisnis tersebut akan membawa suatu akibat hukum, seperti halnya sengketa bisnis yang tidak jarang penyelesaiannya membawa pihak-pihak yang bersengketa ke dunia peradilan (litigasi). Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jambi, dalam sengketa ketenagakerjaan saja terdapat 1.219 (seribu dua ratus sembilas) kasus yang berhubungan dengan sengketa tenaga dengan perusahaan. Lebih dari 70% dari kasus tersebut tidak terselesaikan.[2] Begitu juga terhadap sengketa pertanahan, di mana dari jenis masalah sengketa dan konflik sebanyak 137 (seratus tiga puluh tujuh) kasus, fakta menunjukkan, bahwa lebih dari sebagian kasus tersebut yang belum dapat terselesaikan. Hal ini disebabkan dari pihak yang bersengketa yang malas berhubungan dengan proses administrasi penyelesaian sengketa secara litigasi, baik dalam permasalahan waktu, biaya maupun proses yang berbelit-belit. Padahal setiap persengketaan di dunia bisnis ini membutuhkan upaya penyelesaian yang cepat dan tepat serta berdaya guna demi tercapainya kepentingan bersama.
         Selama ini, sengketa bisnis di Propinsi Jambi umumnya diselesaikan melalui proses pengadilan (litigasi). Dalam konsteks penyelesaian seperti ini, pihak yang bersengketa umumnya dihadapkan pada sejumlah persoalan yang tidak ringan, antara lain:
a.   Biaya yang diperlukan relatif besar, sementara tidak jarang nilai yang disengketakan relatif tidak terlalu besar;
b.  Waktu yang dibutuhkan relatif lama dan proses yang panjang serta berbelit-belit, bahkan terkadang untuk suatu tuntutan yang nilainya kecil;
c.   Proses pemeriksaan yang terbuka untuk umum, mempengaruhi kredibilitas pihak yang bersengketa;
d.  Adanya posisi tawar yang tidak seimbang, sehingga selalu muncul rasa ketidakpercayaan terhadap proses peradilan. Kondisi ini diperburuk pula oleh kurang baiknya citra peradilan di tengah masyarakat;
e.   Sifat putusan yang “kalah menang” kurang kondusif bagi kelanjutan hubungan para pihak yang bersengketa.[3]
         Kelemahan-kelemahan dalam penyelesaian sengketa bisnis melalui cara litigasi tersebut telah mendorong pemikiran untuk menggunakan alternatif penyelesaian sengketa secara non litigasi, seperti mediasi.
         Istilah mediasi cukup gencar dipopulerkan oleh para akademisi dan praktisi akhir-akhir ini. Para ilmuan berusaha mengungkap secara jelas makna mediasi dalam berbagai literatur ilmiah meluli riset  dan studi akademik. Para praktisi juga cukup banyak menerapkan mediasi dalam praktik penyelesaian sengketa. Perguruan tinggi, lembaga swadaya Masyarakat (LSM), dan berbagai lembaga lain cukup banyak  menaruh perhatian pada mediasi ini. Namun, “istilah mediasi tidak mudah didefinisikan secara lengkap dan menyeluruh, karena cakupannya cukup luas. Mediasi tidak memberikan suatu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lain”.[4]
         Sehubungan dengan itu, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukna peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” bermakna, bahwa mediator harus berada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dengan kedudukan atau posisi yang sama, sehingga menimbulkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
         Mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement). Kegiatan ini dilakukan oleh mediator sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa. Posisi mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan yang dapat mengakhiri perselisihan  dan persengketaan. Mediator tidak dapat memaksa  para pihak untuk  menerima tawaran penyelesaian sengketa darinya. Para pihak yang menentukan kesepakatan-kesepakatan apa yang mereka inginkan. Mediator hanya membantu mencari alternatif  dan mendorong mereka secara bersama-sama ikut menyelesaikan sengketa.
         Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk  menyelesaikan perselisihannya. Dalam mediasi, “penyelesaian perselisihan atau sengketa lebih banyak muncul dari keinginan  dan inisiatif  para pihak, sehingga mediator berperan membantu mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan”.[5] Dalam membantu pihak yang bersengketa, mediator bersifat imparsial atau tidak memihak. Kedudukan mediator seperti ini amat penting, karena akan menumbuhkan kepercayaan yang memudahkan mediator melakukan kegiatan mediasi. Kedudukan mediator yang tidak netral, tidak hanya menyulitkan kegiatan mediasi tetapi dapat membawa kegagalan dalam penyelesaian sengketa.
         Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Masyarakat Indonesia merasakan, bahwa “penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpelihara nilai-nilai kebersamaan (komunalitas) dalam masyarakat”.[6] Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka secara sepat dan tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan individu. Mayarakat Indonesia, sebagaimana masyarakat lain di dunia, merasakan bahwa konflik  atau sengketa yang muncul dalam masyarakat tidak boleh dibiarkan terus menerus, tetapi harus diupayakan jalan penyelesaiannya. Dampak dari konflik tidak hanya memperburuk hubungan antara pihak yang bersengketa, tetapi juga dapat mengganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu, mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa dinilai sebagai sesuatu hal yang mampu untuk meminimalkan ketidakadilan dalam penyelesaian sengketa.
         Penyelesaian konflik atau sengketa  dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebabasan” yang menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Para pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau salah dalam sengketa yang mereka hadapi, tetapi mereka cenderung memikirkan  penyelesaian untuk masa depan, dengan mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka secara berimbang. Penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan para pihak (walaupun tidak 100%) dapat ditempuh melalui mekanisme musyawarah dan mupakat. Penerapan prinsip musyawarah ini umumnya dilakukan di luar pengadilan.
         Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Prinsip musyawarah mufakat merupakan nilai  dasar yang digunakan pihak yang bersengketa dalam dalam mencari solusi terutama di luar jalur pengadilan. Nilai musyawarah mufakat terkonkretkan dalam sejumlah bentuk alternatif penyelesaian sengketa.
         Penyelesaian sengketa bisnis secara mediasi bertujuan untuk memecahkan kebuntuan dan kelemahan litigasi tersebut dengan berupaya memberikan cara yang lebih memenuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa. Manfaat yang dapat diperoleh dari terwujudnya penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi dapat diuraikan sebagai berikut:
a.     Efisiensi dari segi waktu dan biaya. Penyelesaian sengketa di bidang bisnis yang berlarut-larut dapat merugikan pihak yang bersengketa dan meningkatkan risiko reputasi bagi sengketa yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar;
b.    Terwujudnya perlindungan yang lebih baik terhadap pihak-pihak yang bersengketa;
c.     Tetap terjaganya hubungan baik di antara pihak yang bersengketa;
d.    Terselesaikannya berbagai sengketa bisnis secara adil, sehingga mendorong lahirnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap dunia bisnis. Manfaat ini memberikan efek yang positif terhadap perbaikan ekonomi nasional pada umumnya;
e.     Sistem penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi akan memberikan stimulasi pihak perusahaan untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan kegiatannya, terutama terkait hubungannya dengan masyarakat sebagai konsumen;
f.     Sistem penyelesaian secara mediasi juga memberikan stimulasi specific development of the lawyer dalam bidang bisnis dan mediasi.[7]
         Berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi dinilai lebih baik dari pada penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan menggunakan litigasi. Oleh sebab itu, dengan pendirian sebuah Lembaga Mediasi di Propinsi Jambi diharapkan mampu untuk menyelesaikan dan meringankan proses penyelesaian sengketa yang cepat, biaya murah serta berdaya guna demi tercapainya kepentingan bersama.



[1]Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jambi, Data Base Pengawasan Ketenagakerjaan Propinsi Jambi, Jambi, 2009.
[2]Ibid.
[3]Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, PT. Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 213.
[4]Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 119.
[5]Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009, hlm. 6.
[6]Ibid.
[7] Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hlm. 214.

KONFLIK PERTANAHAN DAN SOLUSINYA


KONFLIK PERTANAHAN DAN SOLUSINYA
Oleh:
REKO DWI SALFUTRA, S.H., M.H.
Sekretaris Lembaga Mediasi Provinsi Jambi

         Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai landasan konstitusional, melalui batang tubuhnya Pasal 33 ayat (3) telah mewajibkan agar penggunaan sumber daya alam dan ekosistemnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
         Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut, dapat dimaksudkan, bahwa pada tingkat tertinggi, bumi, air dan kekayaan alam serta seluruh kandungannya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Penegasan terhadap konsepsi hak menguasai dari negara ini telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang memberi kekuasaan kepada negara untuk:

a.    Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.   Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

         Konstitusi Negara Republik Indonesia melalui Pasal 33 ayat (3) tersebut memberikan perlindungan tertinggi kepada setiap rakyat Indonesia dalam menikmati kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
         Adapun kekuasaan negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu sendiri, artinya sampai seberapa besar negara memberikan kekuasaannya kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Dengan demikian, wewenang mengatur yang dimiliki oleh negara itu dipergunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran yang akan dicapai adalah suatu kemakmuran  untuk sebanyak mungkin orang tanpa harus melanggar hak orang lain, termasuk hak penguasaan dan pemilikan atas tanah.
         Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960 sesuai dengan amanat dari konstitusi negara. UUPA tersebut dibentuk atas perintah dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA merupakan suatu bentuk instrumen hukum yang mengatur permasalahan agraria nasional yang telah dilakukan sebagai bentuk unifikasi hukum, sehingga berlaku secara nasional.
         Sehubungan dengan itu, lahirnya UUPA telah membawa dampak pada konsepsi dan tata susunan hukum tanah di Indonesia yang substansinya merupakan dasar pokok landasan terhadap perkembangan hukum tanah nasional yang sesuai dengan keperluan rakyat dan memenuhi kepentingannya seiring dengan perkembangan zaman demi suatu tujuan bersama untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan yang diselaraskan dengan asas-asas hukum agraria yang dikenal oleh negara Indonesia. Adapun asas umum agraria termaktub dalam UUPA, yaitu:
a.       Menurut hukum tanah nasional tidak ada kebebasan dalam pemindahan hak atas tanah, karena bagi tiap hak atas tanah ditentukan syarat yang harus dipenuhi oleh subjeknya;
b.      Status hukum tanah tidak mengikuti status hukum pemegang haknya;
c.       Tidak diadakan perbedaan antara sesama warga negara Indonesia, yang didasarkan atas perbedaan ras atau kelamin dan badan-badan hukum serta orang-orang asing terbuka untuk menguasai tanah dengan hak lain terkecuali hak milik, dan hal ini secara tegas ditentukan dengan peraturan perundang-undangan;
d.      Tiap warga negara Indonesia diperbolehkan menguasai tanah dengan hak apapun, kecuali secara tegas ada larangan yang tidak memungkinkannya.
         Melalui Pasal 4 ayat (1) UUPA, telah ditegaskan bahwa atas dasar Hak Menguasai Tanah dari Negara (HMN) sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Jadi, tanah tersebut dapat dikuasai dan dipergunakan secara pribadi atau bersama-sama.
         Sehubungan dengan hal di atas, dipahami bahwa tanah merupakan sumber daya penting dan strategis, karena menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar. Di samping itu, tanah juga memiliki karakteristik yang bersifat multi dimensi, multi sektoral, multi disiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi. Sebagaimana diketahui, masalah tanah merupakan masalah yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk Indonesia, tanah juga mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis. Sifat konstan tanah dan terus bertambahnya manusia yang membutuhkan tanah, semakin menambah tinggi nilai tanah.
         Demikian pentingnya kedudukan tanah tersebut, sehingga seringkali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut menimbulkan konflik antar sesama anggota masyarakat (konflik horisontal) maupun antara masyarakat dengan negara yaitu pemerintah (konflik vertikal). Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan perkara yang menyangkut persoalan tanah, sebagaimana dikatakan oleh Hambali Thalib:

Persentase konflik pertanahan dari tahun ke tahun baik yang diproses dan diselesaikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat konvensional, seperti proses perkara pidana, perkara perdata maupun proses perkara tata usaha negara, mengalami perkembangan baik kuantitas maupun kualitas, dengan modus operandi yang tidak dapat dijangkau oleh substansi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]

         Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Hambali Thalib juga menyatakan, bahwa:

Data lain menunjukkan, bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Ekonomi UGM Yogyakarta tentang konflik tanah, buruh, dan hak asasi manusia merupakan tiga persoalan yang dianggap paling sering muncul dalam pemberitaan di media-media massa, khususnya pada empat media massa nasional. Pada empat bulan pertama tahun 1994 menunjukkan bahwa meskipun tidak mencolok tajam perbedaannya, permasalahan (konflik pertanahan) menguasai 37% dari total pemberitaan untuk tiga persoalan tersebut, sedangkan persoalan buruh dan hak asasi manusia menguasai 35% dan 28% secara berurut[2].

         Dalam masa pemerintahan yang telah berlangsung di Indonesia, mulai dari orde lama, orde baru dan orde reformasi, ternyata permasalahan konflik tanah selalu mengalami perubahan. Hal tersebut dikatakan oleh Hambali Thalib yang menyatakan, bahwa:

Karakteristik konflik tanah pada masa pemerintahan Orde Baru selama kurang lebih 32 tahun sudah berubah, karena pengaruh negatif dari berbagai ekses pembangunan. Ekspresi konflik tanah menunjukkan suatu dimensi konflik tidak cukup hanya dipahami sebagai konflik tanah semata, tetapi mengandung konflik dimensi sistem ekonomi, dimensi hubungan mayoritas-minoritas, dimensi hubungan warga negara dengan negara, dimensi hubungan antar sistem ekologi dan dimensi hubungan laki-laki dan perempuan dalam akses dan kontrol terhadap tanah.[3]

         Pada hakekatnya secara yuridis formal peraturan perundang-undangan tentang pertanahan di Negara Republik Indonesia telah mengedepankan unsur keadilan. Sesuai dengan itu, menurut Boedi Harsono sebagaimana yang dikutip oleh Hambali Thalib menyatakan, bahwa ”landasan formal kita dalam melaksanakan reformasi pertanahan adalah UUPA, yang sesungguhnya syarat dengan semangat dan amanat untuk menciptakan keadilan di bidang pertanahan serta mengutamakan golongan ekonomi lemah”.[4]
         Dalam penyelesaian konflik pertanahan selalu menggunakan berbagai upaya, seperti penyelesaikan lewat pengadilan dan di luar pengadilan, sebagaimana dikatakan oleh Rizal Akbar Maya Poetra, bahwa:

Bagi kebanyakan Advokat, penyelesaian perkara diluar pengadilan diharapkan akan menjadi solusi yang terbaik bagi kliennya, yakni dapat menghemat waktu dan biaya, karena proses peradilan yang seharusnya dapat memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan, seringkali memerlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit-beli serta berlarut-larut bahkan kadang-kadang harus dilanjutkan oleh para ahli waris pencari keadilan serta menghabiskan dana yang tidak sedikit. Selain itu dari pengalaman selama menjalani profesi sebagai seorang Advokat/Pengacara, sangat dirasakan dalam penanganan perkara yang secara langsung menggunakan jalur penyelesaian melalui badan peradilan, yakni dalam Perkara Perdata maupun Perkara Tata Usaha Negara, sering kali tidak efektif dan hasilnya kontra produktif.[5]

         Di dalam sistem hukum nasional dikenal penyelesaian sengketa melalui lembaga di luar pengadilan/non litigasi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Salah satu alternatif penyelesaian sengketa adalah melalui proses mediasi yang merupakan proses penyelesaian berdasarkan prinsip-prinsip win-win solution yang diharapkan penyelesaiannya secara memuaskan yang dapat diterima semua pihak.
         Secara umum alternatif penyelesaian sengketa sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mekanisme yang ditempuh cenderung bersifat informal, sesuai dengan kebutuhan dan situasi kondisi yang ada. Dalam hal ini yang penting adalah membangun pengertian dan suasana agar para pihak terbuka untuk memahami kepentingan masing-masing dan berusaha memberi dan menerima untuk tercapainya jalan keluar secara win-win solution melalui musyawarah yang mereka tentukan dan sepakati sendiri dengan difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Hal tersebut juga searah dengan pernyataan Direktorat Konflik Pertanahan yang menegaskan:

Seiring dengan perjalanan waktu, penyelesaian sengketa/konflik melalui musyawarah semakin banyak dilakukan. Sengketa/konflik pertanahan yang lebih banyak berkaitan dengan masalah kepentingan atau interest para pihak, relatif lebih mudah untuk diselesaikan melalui cara musyawarah sepanjang kedua belah pihak saling terbuka dan menginginkan jalan keluar terbaik bagi semua pihak. Terhadap penyelesaian sengketa/konflik melalui peradilan, salah satu hambatannya adalah seringkali sulit melaksanakan putusan pengadilan, dalam hal ini terdapat putusan pengadilan perdata, pidana, dari Pengadilan Negeri /Pengadilan Tata Usaha Negara sampai Kasasi bahkan Peninjauan Kembali yang tidak konsisten satu sama lain terhadap satu obyek sengketa/konflik.[6]

         Di sisi lain pola penyelesaian konflik pertanahan juga diungkapkan oleh Arie Hutagalung yang menyatakan, bahwa ”cara-cara penyelesaian sengketa pertanahan dapat dilaksanakan melalui musyawarah, Badan Peradilan, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Cara-cara melalui Arbitrase dan APS lebih dianjurkan untuk mencegah konflik yang berkepanjangan”.[7]
         Selanjutnya data pada Direktorat Konflik Pertanahan menunjukkan bahwa sengketa pertanahan atau agraria modern di Indonesia mempunyai sejarah panjang, setidaknya merentang mulai masa kolonial dulu. Peninggalan dari penjajahan masa lalu masih dirasakan oleh Bangsa Indonesia sampai saat ini. Dari data empiris sengketa/konflik mengenai pertanahan di Indonesia cukup tinggi bila dibandingkan dengan sengketa/konflik lain dalam perkara perdata, baik di pengadilan tinggi pertama maupun yang telah masuk ke Mahkamah Agung. Sengketa/konflik pertanahan di Indonesia kini kian meningkat dan kompleks, dari semula hanya sekitar 2.000 kasus kini menjadi 7.491 (data Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2008) kasus secara nasional. Sebagian besar kasus tanah itu sangat rumit penyelesaiannya karena menyangkut beberapa unsur yang komplek. Maria SW juga memberikan pendapatnya, yaitu:

Sengketa apa saja yang sesuai untuk diselesaikan melalui mediasi? Walaupun ada pendapat yang menyatakan bahwa mediasi dapat dipilih untuk segala macam sengketa, karena yang terpenting adalah itikad para pihak untuk menyelesaikan sengketanya, namun menurut pengalaman di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, pada umumnya mediasi lebih sesuai untuk diterapkan dalam kasus-kasus yang menyangkut kelangsungan hubungan antara para pihak, kasus-kasus dengan keseimbangan kekuatan (power) antara kedua belah pihak, sengketa yang berjangka waktu singkat, atau sengketa yang tidak pasti hasil akhirnya bila dibawa ke pengadilan.[8]

         Di dalam Press Release Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Iindonesia dan Kepolisian Republik Indonesia Tahun 2008 disampaikan, bahwa luas tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan, digunakan secara optimal seluas 607.886 ha. (Enam ratus tujuh ribu delapan ratus delapan puluh enam hektar), 6.078.860.000 M2 (Enam milyar tujuh puluh delapan juta delapan ratus enam puluh ribu meter persegi). Nilai ekonomi tanah yang menjadi obyek sengketa sebesar: 6.078.860.000 M2 x Rp 15.000 (NJOP Tanah Terendah) = Rp 91.182.900.000.000 (Sembilan puluh satu trilyun seratus delapan puluh dua milyar sembilan ratus juta rupiah). Dengan mempergunakan rumus periode pembungaan selama 5 tahun dan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10%, maka diperoleh potensi nilai ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp146.804.460.000.000,- (Seratus empat puluh enam trilyun delapan ratus empat milyar empat ratus enam puluh juta rupiah).[9]
         Pada kenyataannya dalam penyelesaikan persoalan konflik pertanahan selalu mengalami perkembangan dan mempunyai karakter yang berkaitan dengan kasus-kasus lama sebagai akibat pola kebijakan dari pemerintah daerah yang masih jauh dari unsur keadilan. Hal tersebut searah dengan pendapat  Joyo Winoto yang mengatakan, bahwa sengketa dan konflik pertanahan merupakan fenomena sehari-hari. Semakin kita dalami, semakin banyak kasus lama yang terungkap. Banyak sengketa yang melahirkan sengketa baru. Umumnya tanah dalam sengketa adalah tanah yang diperlakukan status quo, tidak diusahakan. Kerugian masyarakat menumpuk sepanjang umur sengketa. Sampai hari ini, kita masih menemukan sengketa tanah telah mengganggu harmoni sosial di berbagai wilayah. Sengketa tanah bisa lahir secara alamiah, tetapi tidak sedikit pula yang lahir karena rekayasa lahir karena permainan mafia tanah. Permainan pertanahan adalah permainan kehidupan. Sekali kita eksekusi tanah, saat itu terlepas hubungan manusia tersebut dengan tanahnya – terlepas manusia dari sumber kehidupannya, dari tempat tinggalnya, dari kehormatannya. Sengketa tanah harus diatasi. Terlalu beresiko secara sosial untuk membiarkan tidak tertangani dan dibiarkan berkembang. Negara dan kita semua berkepentingan atas tuntasnya sengketa pertanahan.[10]
         Pemahaman terhadap berbagai akar permasalahan tersebut di atas dapat dijadikan titik tolak dalam upaya dan tindakan penyelesaian sengketa/konflik pertanahan yang timbul. Selanjutnya, khusus untuk penyelesaian sengketa pertanahan yang difasilitasi oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional) dengan terbitnya keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, maka mekanisme pelaksanaan penyelesaian sengketa pertanahan melalui mediasi cenderung bersifat formal.


[1]Hambali Thalib, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Kebijakan Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Edisi I Cetakan ke-2, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2009, hal. 45.
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Ibid., hal. 46
[5]Rizal Akbar Maya Poetra, Strategi Dalam Penanganan Sengketa Pertanahan disampaikan dalam rangka Workshop Nasional Strategi Penanganan dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan Tahun 2007, diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di Sindhu Hotel Sanur-BALI, Rabu 14 Nopember 2007.
[6]Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Penyelesaian Konflik Pertanahan, Direktorat Konflik Pertanahan, 2008, hal. 9.
[7]Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Cetakan I, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta,  2005, hal. 386.
[8]Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,                       PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2001, hal. 179.
[9]Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kebijakan Ka BPN RI dalam Penanganan dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan, 2008, hal. 9.
[10]Joyo Winoto, Sambutan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Peringatan Hari Agraria Nasional dan Peringatan HUT UUPA Ke – 48, Menggerakkan aset, menyelamatkan bangsa, tanah, negara dan kemakmuran rakyat, 2008, hal. 4.