Rabu, 17 Agustus 2011

Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

I. PENDAHULUAN
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk dapat mengelola bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dengan sebaik-baiknya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang dimaksud dengan rakyat adalah seluruh penduduk Indonesia termasuk di dalamnya masyarakat adat.

Berbicara mengenai masyarakat adat atau masyarakat hukum adat, tidak bisa dilepaskan dengan adanya hak ulayat. Hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun keluar.

Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya dinyatakan dalam Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dan juga pada Pasal 28i ayat (3) (Amandemen Kedua) menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

II. KEDUDUKAN HAK ULAYAT DALAM PERATURAN PERUNDANGAN DI INDONESIA
Seperti telah disebutkan bahwa pengakuan tentang keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya tertuang dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3), namun dalam kenyataannya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional, yang biasa disebut hak ulayat, seringkali tidak konsisten dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Titik berat hak ulayat adalah penguasaan atas tanah adat beserta seluruh isinya oleh masyarakat hukum adat. Penguasaan di sini bukanlah dalam arti memiliki tetapi hanya sebatas mengelola.

Hal ini dapat dilihat dalam peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Tenaga Listrik, Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khsusus Papua, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Seperti misalnya dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, secara eksplisit disebutkan bahwa status hutan itu hanya ada 2(dua) yaitu hutan negara dan hutan hak. Hutan adat disebutkan sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Padahal dalam kenyataannya hutan adat telah ada sebelum Negara Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, mungkin disebabkan karena pengakuan terhadap eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sendiri masih tidak konsisten. Ketidakkonsistenan tersebut dikarenakan belum ada kriteria yang baku mengenai keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya di suatu wilayah.

Ada beberapa daerah yang telah mengeluarkan Peraturan Daerah sebagai pengakuan dan pengukuhan keberadaan masyarakat adat di wilayahnya. Tetapi masih banyak juga daerah yang belum menerbitkan Peraturan Daerah meskipun ditengarai ada masyarakat di wilayah tersebut. Di sisi lain dalam era reformasi, pemerintah dituntut untuk dapat melakukan pembaruan menyeluruh di segala bidang termasuk hukum. Maka seperti sebuah euforia, bermunculanlah peraturan-peraturan seperti Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Untuk menjembatani permasalahan tersebut, kiranya untuk menetapkan eksistensi hak ulayat harus melihat pada tiga hal yaitu:
  1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek hak ulayat.
  2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai Lebensraum yang merupakan obyek hak ulayat.
  3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Ketiga hal di atas harus dipenuhi secara simultan untuk dapat menyatakan ada atau tidaknya masyarakat hukum adat di wilayah tertentu.

Menilik namanya, obyek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, iar, hutan, tambang, dsb.), tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja. Dari 67 pasal UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah. Obyek pengaturan yang belum diselesaikan UUPA ditindaklanjuti berbagai sektor melalui undang-undang sektoral, untuk memenuhi menjawab permasalahan-permasalahan yang belum diatur dalam UUPA.

Kajian yang dilakukan Tim Penyusuun RUU Pengelolaan SDA mencatat lima karakteristik peraturan perundang-undanagn sektoral, sebagai berikut:
  1. Orientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan keberlanjutan fungsi SDA, digunakan sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatn dan devisa Negara
  2. Lebih berpihak pada pemodal besar
  3. Ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara sehingga bercorak sentralistik
  4. Pengelolaan SDA yang sektoral berdampak terhadap koordinasi antarsektor yang lemah.
  5. Tidak mengatur perlindungan hak asasi manusia (HAM) secar aproporsional.
Secara ringkas, akibat keberadaan berbagai UU sektoral yang inkonsisten dan tumpang tindah itu adalah koordinasi yang lemah di tingkat pusat, antara pusat dan daerah serta antar daerah; kerusakan dan kemunduran kualitas SDA; ketidakadilan berupa terpinggirkannya hak-hak masyarakat yang hidupnya terutama tergantung pada kases terhadap SDA petani, masyarakat adat, dll); serta timbulnya konflik berkenaan dengan SDA.

Ke depan yang diperlukan adalah keberadaan UU yang menjadi platform bersama bagi berbagai UU sektoral. UUPA yang semula diniatkan jadi UU platform, baik karena obyek pengaturan maupun falsafah, orientasi, dn prinsip dasarnya, bernialai strategis untuk berperan dalam harmonisasi undang-undang sektoral.
Titik bertanya pada hal-hal berikut:
  1. Pilihan paradigma adalah penghormatan dan perlindungan HAM, keberlanjutan kapasitas produktif masyarakat dan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan Good Governance.
  2. Falsafah UU SDA nanti adalah penggunaan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya guna sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  3. Orientasi UU SDA/Agraria mendatang adalah pencapaian keadilan sosial, efisiensi, pelestarian lingkungan dan penggunaan SDA berkelanjutan.
  4. Prinsip-prinsip dasar UUPA perlu diredefinis dan diselaaraskan dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang termuat dalam TAP IX/2001.